PUISI: Kamu Ingin Membingkai Pilu di Mata Beliau yang Sudah Mati

Kamu Ingin Membingkai Pilu di Mata Beliau yang Sudah Mati

Gheani Kirani

Sumber ilustrasi: Pixels 


Bagi Beliau, kamu berhak menangis

Sebab barangkali bayi-bayi yang terkurung di Passiliran akan berduyun-duyun menyusu dari selokan air matamuDan burung-burung eden akan mematuk sebongkah apel dari genangan kotor yang mengeras di wajahmu.

Maka menangislah, kelak akan kamu temukan sepotong wajah penderitaan dan secangkir tangis yang uapnya tak kunjung sampai di pintu Surga.

Juga akan kamu lihat tubuh telanjangmu yang terlampau malu mengetuk pintu rumah Beliau.

 

Bahkan ketika lentera pecah dan menghajar selaksa kepala berdenyut di jurang pemisah Surga dan PassiliranCairan hitam mengguyur lautan jerebu yang kamu sebut bumi, dunia, dan kota yang sudah malam

Beliau masih tak menemukan manusia selain dirimu, yang menyimpan detak jantung paling agung dan megah itu.

Detak yang menjerit serupa kidung. Detak yang mengingatkan Beliau akan secarik kertas kotor yang dibuang pendosa. Akan kelaliman yang dibingkai para tikus bertopeng di kota-kota terlantar. 

Atau lugunya manusia-manusia tak berkepala yang bersyair, “Anjing! Anjing!” Yang serempak bernyanyi, “Babi! Babi!” Yang memindahkan hutan dan binatangnya pada mulut-mulut tak berlidah. Yang berteriak, “Kami bukan lagi manusia!”

 

Di puncak rusaknya kewarasan manusia itu, Beliau masih tak menemukan penggantimu. Bahkan eden berdusta bahwa kamu bukan satu-satunya. Bahwa di bait-bait kepolosan makam bayi Toraja, di antara tulang belulang tak bergigi yang memanggil induknya, di ambang batas saat Beliau menyebut namamu dengan lengking mesra. 

Kamu adalah pemilik jantung semua makhluk, semua surga, semua biji mata Beliau.

Maka Beliau menemukanmu, menghukum semesta yang menyembunyikanmu. 

Lalu Beliau mencurimu, membelah dadamu, mengeluarkanjantung paling agung dan megah itu. Sebab hanya melalui jantung basah yang mati itu, Beliau dapat mendengar nyanyian kudus serupa kidung. 

Lalu Surga akan padam, terhenyak mendengar suaramu bertalu-talu memukul Adam dan Hawa yang telanjang. Kendati tubuhmu juga telanjang, dan matamu yang membelukar mirip seperti Hawa, kaki-kaki rusak yang mengusung Salib akan tetap ditumpahkan padamu, hingga curahan darahmu menjadi kuil, dan kamu mati, dan ragamu tak ada lagi di bumi.

Kamu mati. Kamu sudah mati. Sudah lama sekali.

Bukan kenyataan, atau tragedi yang sengaja dihapus Beliau dari kitab kehidupan          Memang. Kamu sudah mati sejak lama. Sejak Beliau wafat dan amin menjadikan mati seluruh umat manusia. Ketika itu selihai-lihainya amin yang terucap, telah memotong lidahmu lebih lama. Sampai kamu melupakan nama. Sampai kamu melupakan waktu yang melepuh di sajak doamu. Sampai kamu melupakan cara membunuh. Sampai Beliau membawa pulang jantung paling agung dan megah milikmu.

Saat-saat itu kamu ingin membingkai pilu di mata Beliau yang sudah mati. Sebab mata jenaka itu hanya dimiliki Beliau, dan kekudusan yang tak tersentuh kaum-kaum jalang.

“Jangan tersenyum padaku. Sebab esok aku akan mati dan Engkau harus memikul pilu.”

Tetapi kamu lupa, Beliau tak punya air mata. Kendati Beliauyang mengajarimu cara menangis dan membuat sungai yang mengalir sampai ke dagu, hingga kamu mengerti cara mengaduk lautan garam yang menggenang di lantai kamarmu.  

Beliau bahkan tak mengenal rasa asin. Beliau hanya mengenaljantungmu. Beliau hanya mengenal air matamu, yang berbisik begitu sayup dan pedih, di penghujung hari.

Bengkel Sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar