PUISI: Enam Pertanyaan Paling Sunyi untuk Sepi

 Enam Pertanyaan Paling Sunyi untuk Sepi 

Gheani Kirani



Sumber ilustrasi: Pixels

 

Pertanyaan pertama;

Bagaimana rahim merampungkanmu yang kesepian 

hingga melahirkanmu, rumpang?

 

Namaku Rumpang 

dan itu berarti aku tak mengenal kesedihan

atau kesepian

atau tangisan

mungkin juga hujan yang setiap jam menggeliat di wajah orang-orang

sabak, rebas, kusam, dan aku tahu orang-orang sudah tak bernyawa

mereka hanya menggantung sisa napas dan suhu ribuan derajat celcius di dahi

yang berkerut dan memaki, kendati mata mereka telah menjadi pengasingan paling asing

 

Namaku Rumpang

dan itu berarti aku tak boleh kesepian

atau menawar sepi

atau mengusir sepi

mungkin juga membunuh sepi yang menyetubuhi setiap jantung paling sunyi

yang tak tahan meringkuh kidung-kidung para pengantar peti 

yang selalu takzim merobek bait-bait magis petinggi surgawi

 

memeluk dan mendekap tubuhku tiada lagi punya arti

kau dan aku telah menjadi gundik kesepian ini

 

Namaku Rumpang

dan itu berarti aku belum selesai dirampungkan

oleh kau, rahim, dan oleh segala yang kausebut tak bernama

Rahim tahurahim mengenalku, jiwaku yang kosong tak bertuan

coretan luka di balik dinding, pil obat untuk overdosis, lukisan organ dalam

sobekan kain bernoda darah, pisau berkarat, rencana yang meluap akan gairah

Napsuku akan meledak, organku akan memburai, abstrak, dan waktu itu malam

Aku masih menjilat serbuk-serbuk es dan menguliti mata boneka beruang

saat rahim tak lagi bernama rahim, saat rahim diajak pergi oleh peri

dan aku terkurung dalam kandang pedih perih

 

mencium sungaiku dan mencumbu pecahku tiada lagi punya arti

kau dan aku telah menjadi gundik kesepian ini

 

bagaimana bisa rahim melahirkan gundik paling kesepian?

di tengah bumi paling biasa yang menyuarakan benci paling biasa

dihimpit kota paling liar yang memuja kasmaran dan ranjang paling liar

di lubang-lubang paling tidak biasa yang menjerumuskanku pada 

hidup paling tidak biasa 

 

bagaimana bisa rahim mencintai gundik paling kesepian?

yang telah diperkosa sepi paling satir

yang menjelma rampung paling agung

dan aku

 

mencintai dan meniduri sepiku tiada lagi punya arti

aku telah mati sebagai gundik kesepian ini.

Pertanyaan kedua;

Mengapa orang-orang melarangmu menangis 

ketika nyawamu terkantung-kantung 

di penghujung sepi paling nyeri ?

 

Ada penghinaan di mataku, di rongga dadaku, di sekat-sekat tulangku

saat aku membasahi ranjang, bantal, dan selimut

saat aku memotong kepala lalu menaruhnya di kolong kasur

sementara aku mengembara di kota-kota telantar tanpa kepala

kemudian pulang dan menceburkan diri di kamar 

yang telah menjelma lautan garam

tapi kepalaku masih saja mengucurkan air mata

 

Ada seorang pemarah, pemabuk, dan pecandu dalam diriku

ia mencukur rambut, nadi,  jari, dan membangun kuil di tubuhku yang rusak

alkohol, dansa,  perjudian, pelacur, kehancuran, tak ada yang menyembah di kuilnya

barangkali tangis membingkai pilu di mukanya, lalu terhapus segala raut di sana

dan peluru melubangi sukma, lebih dari burung eden mematuk bola matanya

kata eden, ia tak boleh menangis, karena air bah akan melompat keluar dari bibirnya

ia, aku, kau, kita, tak boleh menangis, kendati bumi mengubur orang-orang

yang jasadnya masih hidup dan subur di mata para kekasih

tandus, dan aku berkarib pada jeruji yang memenjarakan aromamu

meski sayang, di saat yang sama, kau hidup sekaligus mati

 

rahim, amin, aku keturunan Yudas, aku musuh peradaban

malulah engkau, kau kematian terlayak bagi Surga

tapi tidak bagiku, tidak pernah bagiku

Ada sepi tertawa di tubuhku, di tanganku, di kakiku, di perutku

selalu ia bergolak, asam menggerogoti lambung, tawanya bungkam, meletup

aku membayar amuknya dengan sekantung emas, bibir ranum, kecup haru

dan ia terusir dari harum tangis yang kuhirup di sudut fana

hampir seperti Yudas, tiada lagi beda dosaku dengannya

aku mencium sepi dan meludahinya, berjaga di sebelahnya

untuk menikam dan memasung, parangku bersorak menebas nyawanya

 

tragislah aku, malulah engkau, aku ditakuti sepi begitu lama

hinalah aku, menangislah engkau, aku diburu sepi begitu larutnya

mengapa orang melarang aku menangis?

tak membusunglah dadaku, tak lebih baik aku dari perwira kerdil

maka pantas kalahlah aku dan malulah engkau, rahim

mengapa orang melarang aku menangis?

 

Malulah engaku, rahim, tragislah jalanmu ke Surga

ranjangku basah, sepi terlalu lama bermukim di sana

dunia menuding, itulah kolam penghinaan

bagiku anak Yudas, yang kehilangan induknya

 

malulah engkau, tragislah aku, menangislah kita.


Pertanyaan ketiga;

Tak cukupkah bahu untuk bersandar 

dan telinga untuk mendengar 

kala tangismu gigil tak berkesudahan?

 

Maafkanlah, tak kunjung sampai tangis ini mengetuk parau 

kudengar Beliau akan menggusur lukamu dengan bahaya

bahaya yang menyulut api dan roh di ujung tembakau 

tunduklah engkau, jalan merunduklah

seret kakimu, mashyurlah namamu di persinggahan

 

dapat kuteriaki telapak kaki kerabat dan begundal dan diktaktor kehilangan

lalu kusuruh mereka beranjak dari pundakmu yang kebas

tak cukupkah tersayat segala topeng-topeng putih itu?

Kau terlalu lembut, kaku, mengeras di gumpalan darahku

 

Ampunilah, lambat sudah Beliau menyatakan

telah habis buah tubuhmu dirudapaksa kerlingan manusia

tapi masih belum cukup garam mengasinkan lidahmu yang tawar

kini lagi orang-orang mengganti kakimu dengan besi kasar

memerintahmu berdiri palsu di atas tanah merah

 

selalu kusesali waktu penciptaan

sepi memang hutan belantara 

tak diciptakan untuk manusia

kita yang terlalu lancang memasukinya

 

sewaktu-waktu kau kayu rusak, dingin, tak berpenghuni

membelukar di serat-serat tembok mati

tetap akan selalu terdengar detak jantungmu yang tragis

Beliau mencintaimu, merebut sosokmu dalam lumatan hari

rebahlah rohmu, terbelahlah dadamu, tercabutlah jantungmu

kau pemilik jantung semua makhluk

 

maka tak segan Beliau memakan mentah-mentah rasa ibanya

agar dapat ia curi seluruh pundak manusia

dan ia tebas seluruh telinga umat pendengar

lalu diserahkannya itu padamu

yang telah menangis lebih sakit dari Petrus

 

tak cukupkah bahu untuk bersandar yang tergolek menanti di lantai kamar?

atau kurangkah pajangan telinga yang kurekatkan rapi di tembok kamar?

 

maaf, gigilmu tak berkesudahan

gigimu retak menghajar lidah

dan masih menangis engkau di sana

bagai badut menyedihkan yang tak tahu

kapan akhir hidupnya.

Pertanyaan keempat;

Berapa banyak luka yang diberikan dunia sampai tak tersisa lagi 

ruang di wajahmu untuk tersenyum?

 

Abad kelaliman dunia tertata di kepalamu, seperti abad pertengahan

seperti sihir, titah raja, magis paling amis yang berkuasa atas semesta liar

semesta yang terbengkalai, bangkai yang membingkai kehilangan

di wajahmu tak lagi tersisa tempat untuk mengisap rokok 

di rumahmu berita-berita pembunuhan menari dari radio

dan terlampau lelah kakimu tertekuk di kolong kasur

lehermu nyaris patah setelah terkantung-kantung di tali gantung

berapa banyak luka yang diberikan dunia padamu?

 

Oksigen habis dihirup ketenangan orang-orang, kerabat, keluarga,

gedung-gedung penjilat langit, menara-menara pemantik angkasa,

kota-kota pelacur dan pujangga yang bermain kotor di dalamnya

tapi tak pernah hatimu tenang,  jiwamu lega, kasmaran kau rasa

sebab sepagi ini masih kudengar doamu merintih

berjingkat dan menaiki tangga surgawi

sementara ratapmu telah melebur, kidung paling nyeri dan tangguh

berapa banyak luka yang diberikan dunia padamu?

 

apakah sepi tidak lebih berarti dari mati?

hingga pantas kukatakan kau meranggas, kau kering, sejadi-jadinya

apakah kehilangan tidak lebih bermakna dari kesepian?

hingga pantas kukatakan kau mendadak tahu cara membantai diri sendiri, 

kau terluka, sehabis-habisnya.

Pertanyaan kelima;

Mengapa orang yang kehilangan hanya ingin hidup biasa 

kendati takdir telah mencambuknya  dengan  cara 

paling tidak biasa?

 

Dipinjam pertemuan adalah kutuk, dan rindu yang tertunda masa itu

Memakan buah kehidupan Adam hanyalah mengikari pelucutan pakaian Hawa

Kita telanjang, ditelanjangi, menelanjangi kehidupan

Dengan rindu, kabut, dan kain kabung yang melilit aksara

Barangkali cinta hanya cara Tuhan membungkus kehilangan

dan kehendak manusia yang bertubi-tubi menyesatkan

 

maka Tuhan, aku akan berterus terang

aku ingin menjadi biasa

di bumi paling biasa

dicintai dengan cara yang biasa

dibunuh seolah sudah biasa

ditatap oleh Engkau seakan aku memang 

manusia biasa

yang rengat dalam hilang

 

candu dalam rindu

gigil dalam sepi

 

agar kutemukan jati diri

yang sejatinya kosong dan kerdil

 

agar kuajukan pertanyaan tentang alam lain

seperti mengapa manusia menangis?

atau mengapa air mata manusia rasanya tidak manis 

sehingga dapat kujilati?

 

agar kuajukan pertanyaan tentang semesta

seperti mengapa manusia kehilangan?

atau mengapa tidak manusia saja yang saling menghilangkan telinga sesamanya?

 

agar kuajukan pertanyaan tentang dunia

seperti mengapa manusia merindukan?

atau mengapa rindu lebih ganas dari hewan buas, mengapa tidak bodoh seperti keledai?

 

dan mungkin pertanyaan tentang aku sendiri

mengapa aku lupa cara memeluk tubuh ini?

 

Pertanyaan keenam;

Berapa lama lagi akan kau gambar wajah rahim 

ketika ia dan Beliau bahkan melupakan kenyataan  pahit

bahwa kau manusia dan kau menangis?

 

Begitu sedihnya kau dipaksa melayani kesepian

sedalam itu kecewamu dituntut memuaskan kerinduan

segetir itu lidahmu disuruh mencium kehilangan

berapa lama lagi akan kau gambar wajahnya

yang saat ini bahkan menguap di tengah lautan

dipatuk burung camar, membaur bersama sampah

dan gucinya hanya tinggal setangkup abu dalam rak

 

“aku tak ingin lagi mengenalmu” sumpahmu

“tapi tiada berkelit jari-jari ini ingin melukis pendarmu” kau menangis

 

barangkali menciptakan Passiliran dalam kanvas adalah penawar sesakmu

mungkin sebidang dada yang ruam, sebentuk kaki patah yang suam-suam kuku

segurat wajah yang lupa cara tersenyum, adalah sejatinya dirimu

maka kubiarkan kau merosot dalam genangan cat dan berenang di dalamnya

sembari kurapalkan doa-doa untuk kuil-kuil tak disembah

dan kutarikan hujan agar badai membisukan dunia

lalu akan tinggal kau sendiri di sudut tak dikenal

memainkan kuas, mencuatkan sosok tak berjiwa

rahim yang melompat, kembang api yang meletus di bahunya

cinta yang memanah kerangka bernama Rumpang

 

dan sebaik-baiknya gelap tak berujung

tak mungkin lebih baik dari hilangnya mata dan hidung

dari musnahnya senyum dan rambut

di wajahmu yang hanya tinggal segaris bibir bergetar itu

menangis tersedu-sedu

 

lalu akan tinggal kau sendiri

bersama rahim

yang tak pernah kembali.

 

 

Bengkel Sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar