Enam Pertanyaan Paling Sunyi untuk Sepi
Gheani Kirani
Pertanyaan pertama;
Bagaimana rahim merampungkanmu yang kesepian
hingga melahirkanmu, rumpang?
Namaku Rumpang
dan itu berarti aku tak mengenal kesedihan
atau kesepian
atau tangisan
mungkin juga hujan yang setiap jam menggeliat di wajah orang-orang
sabak, rebas, kusam, dan aku tahu orang-orang sudah tak bernyawa
mereka hanya menggantung sisa napas dan suhu ribuan derajat celcius di dahi
yang berkerut dan memaki, kendati mata mereka telah menjadi pengasingan paling asing
Namaku Rumpang
dan itu berarti aku tak boleh kesepian
atau menawar sepi
atau mengusir sepi
mungkin juga membunuh sepi yang menyetubuhi setiap jantung paling sunyi
yang tak tahan meringkuh kidung-kidung para pengantar peti
yang selalu takzim merobek bait-bait magis petinggi surgawi
memeluk dan mendekap tubuhku tiada lagi punya arti
kau dan aku telah menjadi gundik kesepian ini
Namaku Rumpang
dan itu berarti aku belum selesai dirampungkan
oleh kau, rahim, dan oleh segala yang kausebut tak bernama
Rahim tahu, rahim mengenalku, jiwaku yang kosong tak bertuan
coretan luka di balik dinding, pil obat untuk overdosis, lukisan organ dalam
sobekan kain bernoda darah, pisau berkarat, rencana yang meluap akan gairah
Napsuku akan meledak, organku akan memburai, abstrak, dan waktu itu malam
Aku masih menjilat serbuk-serbuk es dan menguliti mata boneka beruang
saat rahim tak lagi bernama rahim, saat rahim diajak pergi oleh peri
dan aku terkurung dalam kandang pedih perih
mencium sungaiku dan mencumbu pecahku tiada lagi punya arti
kau dan aku telah menjadi gundik kesepian ini
bagaimana bisa rahim melahirkan gundik paling kesepian?
di tengah bumi paling biasa yang menyuarakan benci paling biasa
dihimpit kota paling liar yang memuja kasmaran dan ranjang paling liar
di lubang-lubang paling tidak biasa yang menjerumuskanku pada
hidup paling tidak biasa
bagaimana bisa rahim mencintai gundik paling kesepian?
yang telah diperkosa sepi paling satir
yang menjelma rampung paling agung
dan aku
mencintai dan meniduri sepiku tiada lagi punya arti
aku telah mati sebagai gundik kesepian ini.
Pertanyaan kedua;
Mengapa orang-orang melarangmu menangis
ketika nyawamu terkantung-kantung
di penghujung sepi paling nyeri ?
Ada penghinaan di mataku, di rongga dadaku, di sekat-sekat tulangku
saat aku membasahi ranjang, bantal, dan selimut
saat aku memotong kepala lalu menaruhnya di kolong kasur
sementara aku mengembara di kota-kota telantar tanpa kepala
kemudian pulang dan menceburkan diri di kamar
yang telah menjelma lautan garam
tapi kepalaku masih saja mengucurkan air mata
Ada seorang pemarah, pemabuk, dan pecandu dalam diriku
ia mencukur rambut, nadi, jari, dan membangun kuil di tubuhku yang rusak
alkohol, dansa, perjudian, pelacur, kehancuran, tak ada yang menyembah di kuilnya
barangkali tangis membingkai pilu di mukanya, lalu terhapus segala raut di sana
dan peluru melubangi sukma, lebih dari burung eden mematuk bola matanya
kata eden, ia tak boleh menangis, karena air bah akan melompat keluar dari bibirnya
ia, aku, kau, kita, tak boleh menangis, kendati bumi mengubur orang-orang
yang jasadnya masih hidup dan subur di mata para kekasih
tandus, dan aku berkarib pada jeruji yang memenjarakan aromamu
meski sayang, di saat yang sama, kau hidup sekaligus mati
rahim, amin, aku keturunan Yudas, aku musuh peradaban
malulah engkau, kau kematian terlayak bagi Surga
tapi tidak bagiku, tidak pernah bagiku
Ada sepi tertawa di tubuhku, di tanganku, di kakiku, di perutku
selalu ia bergolak, asam menggerogoti lambung, tawanya bungkam, meletup
aku membayar amuknya dengan sekantung emas, bibir ranum, kecup haru
dan ia terusir dari harum tangis yang kuhirup di sudut fana
hampir seperti Yudas, tiada lagi beda dosaku dengannya
aku mencium sepi dan meludahinya, berjaga di sebelahnya
untuk menikam dan memasung, parangku bersorak menebas nyawanya
tragislah aku, malulah engkau, aku ditakuti sepi begitu lama
hinalah aku, menangislah engkau, aku diburu sepi begitu larutnya
mengapa orang melarang aku menangis?
tak membusunglah dadaku, tak lebih baik aku dari perwira kerdil
maka pantas kalahlah aku dan malulah engkau, rahim
mengapa orang melarang aku menangis?
Malulah engaku, rahim, tragislah jalanmu ke Surga
ranjangku basah, sepi terlalu lama bermukim di sana
dunia menuding, itulah kolam penghinaan
bagiku anak Yudas, yang kehilangan induknya
malulah engkau, tragislah aku, menangislah kita.
Pertanyaan ketiga;
Tak cukupkah bahu untuk bersandar
dan telinga untuk mendengar
kala tangismu gigil tak berkesudahan?
Maafkanlah, tak kunjung sampai tangis ini mengetuk parau
kudengar Beliau akan menggusur lukamu dengan bahaya
bahaya yang menyulut api dan roh di ujung tembakau
tunduklah engkau, jalan merunduklah
seret kakimu, mashyurlah namamu di persinggahan
dapat kuteriaki telapak kaki kerabat dan begundal dan diktaktor kehilangan
lalu kusuruh mereka beranjak dari pundakmu yang kebas
tak cukupkah tersayat segala topeng-topeng putih itu?
Kau terlalu lembut, kaku, mengeras di gumpalan darahku
Ampunilah, lambat sudah Beliau menyatakan
telah habis buah tubuhmu dirudapaksa kerlingan manusia
tapi masih belum cukup garam mengasinkan lidahmu yang tawar
kini lagi orang-orang mengganti kakimu dengan besi kasar
memerintahmu berdiri palsu di atas tanah merah
selalu kusesali waktu penciptaan
sepi memang hutan belantara
tak diciptakan untuk manusia
kita yang terlalu lancang memasukinya
sewaktu-waktu kau kayu rusak, dingin, tak berpenghuni
membelukar di serat-serat tembok mati
tetap akan selalu terdengar detak jantungmu yang tragis
Beliau mencintaimu, merebut sosokmu dalam lumatan hari
rebahlah rohmu, terbelahlah dadamu, tercabutlah jantungmu
kau pemilik jantung semua makhluk
maka tak segan Beliau memakan mentah-mentah rasa ibanya
agar dapat ia curi seluruh pundak manusia
dan ia tebas seluruh telinga umat pendengar
lalu diserahkannya itu padamu
yang telah menangis lebih sakit dari Petrus
tak cukupkah bahu untuk bersandar yang tergolek menanti di lantai kamar?
atau kurangkah pajangan telinga yang kurekatkan rapi di tembok kamar?
maaf, gigilmu tak berkesudahan
gigimu retak menghajar lidah
dan masih menangis engkau di sana
bagai badut menyedihkan yang tak tahu
kapan akhir hidupnya.
Pertanyaan keempat;
Berapa banyak luka yang diberikan dunia sampai tak tersisa lagi
ruang di wajahmu untuk tersenyum?
Abad kelaliman dunia tertata di kepalamu, seperti abad pertengahan
seperti sihir, titah raja, magis paling amis yang berkuasa atas semesta liar
semesta yang terbengkalai, bangkai yang membingkai kehilangan
di wajahmu tak lagi tersisa tempat untuk mengisap rokok
di rumahmu berita-berita pembunuhan menari dari radio
dan terlampau lelah kakimu tertekuk di kolong kasur
lehermu nyaris patah setelah terkantung-kantung di tali gantung
berapa banyak luka yang diberikan dunia padamu?
Oksigen habis dihirup ketenangan orang-orang, kerabat, keluarga,
gedung-gedung penjilat langit, menara-menara pemantik angkasa,
kota-kota pelacur dan pujangga yang bermain kotor di dalamnya
tapi tak pernah hatimu tenang, jiwamu lega, kasmaran kau rasa
sebab sepagi ini masih kudengar doamu merintih
berjingkat dan menaiki tangga surgawi
sementara ratapmu telah melebur, kidung paling nyeri dan tangguh
berapa banyak luka yang diberikan dunia padamu?
apakah sepi tidak lebih berarti dari mati?
hingga pantas kukatakan kau meranggas, kau kering, sejadi-jadinya
apakah kehilangan tidak lebih bermakna dari kesepian?
hingga pantas kukatakan kau mendadak tahu cara membantai diri sendiri,
kau terluka, sehabis-habisnya.
Pertanyaan kelima;
Mengapa orang yang kehilangan hanya ingin hidup biasa
kendati takdir telah mencambuknya dengan cara
paling tidak biasa?
Dipinjam pertemuan adalah kutuk, dan rindu yang tertunda masa itu
Memakan buah kehidupan Adam hanyalah mengikari pelucutan pakaian Hawa
Kita telanjang, ditelanjangi, menelanjangi kehidupan
Dengan rindu, kabut, dan kain kabung yang melilit aksara
Barangkali cinta hanya cara Tuhan membungkus kehilangan
dan kehendak manusia yang bertubi-tubi menyesatkan
maka Tuhan, aku akan berterus terang
aku ingin menjadi biasa
di bumi paling biasa
dicintai dengan cara yang biasa
dibunuh seolah sudah biasa
ditatap oleh Engkau seakan aku memang
manusia biasa
yang rengat dalam hilang
candu dalam rindu
gigil dalam sepi
agar kutemukan jati diri
yang sejatinya kosong dan kerdil
agar kuajukan pertanyaan tentang alam lain
seperti mengapa manusia menangis?
atau mengapa air mata manusia rasanya tidak manis
sehingga dapat kujilati?
agar kuajukan pertanyaan tentang semesta
seperti mengapa manusia kehilangan?
atau mengapa tidak manusia saja yang saling menghilangkan telinga sesamanya?
agar kuajukan pertanyaan tentang dunia
seperti mengapa manusia merindukan?
atau mengapa rindu lebih ganas dari hewan buas, mengapa tidak bodoh seperti keledai?
dan mungkin pertanyaan tentang aku sendiri
mengapa aku lupa cara memeluk tubuh ini?
Pertanyaan keenam;
Berapa lama lagi akan kau gambar wajah rahim
ketika ia dan Beliau bahkan melupakan kenyataan pahit
bahwa kau manusia dan kau menangis?
Begitu sedihnya kau dipaksa melayani kesepian
sedalam itu kecewamu dituntut memuaskan kerinduan
segetir itu lidahmu disuruh mencium kehilangan
berapa lama lagi akan kau gambar wajahnya
yang saat ini bahkan menguap di tengah lautan
dipatuk burung camar, membaur bersama sampah
dan gucinya hanya tinggal setangkup abu dalam rak
“aku tak ingin lagi mengenalmu” sumpahmu
“tapi tiada berkelit jari-jari ini ingin melukis pendarmu” kau menangis
barangkali menciptakan Passiliran dalam kanvas adalah penawar sesakmu
mungkin sebidang dada yang ruam, sebentuk kaki patah yang suam-suam kuku
segurat wajah yang lupa cara tersenyum, adalah sejatinya dirimu
maka kubiarkan kau merosot dalam genangan cat dan berenang di dalamnya
sembari kurapalkan doa-doa untuk kuil-kuil tak disembah
dan kutarikan hujan agar badai membisukan dunia
lalu akan tinggal kau sendiri di sudut tak dikenal
memainkan kuas, mencuatkan sosok tak berjiwa
rahim yang melompat, kembang api yang meletus di bahunya
cinta yang memanah kerangka bernama Rumpang
dan sebaik-baiknya gelap tak berujung
tak mungkin lebih baik dari hilangnya mata dan hidung
dari musnahnya senyum dan rambut
di wajahmu yang hanya tinggal segaris bibir bergetar itu
menangis tersedu-sedu
lalu akan tinggal kau sendiri
bersama rahim
yang tak pernah kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar