Cerpen: Dua Mata Narasi

Dua Mata Narasi

Gheani Kirani

Sumber ilustrasi: Pixels


“Harus bagaimana lagi aku menarasikan matamu? Sudah kubilang tempo hari, puisi-puisi dirundung. Muntahan kata yang terdengar rancu, mati di bibirku. Gagak bertengger di lidah kita yang mengencani hidup. Jadi, harus bagaimana lagi aku menarasikan matamu?”

Arasi sudah tak punya kata lagi untuk menghibur Nara. Dilihatnya wajah mantan pelacur itu serupa kepulan asap rokok yang ditiup mulut becek dan menampar-nampar tembokbataPermukaan dua cangkir kopi pahit yang mereka telantarkan di atas meja berteriak minta diminum, sebabsekarang pukul dua dini hari dan tak kunjung ada percakapan. Saling membisu adalah satu-satunya setan yang berkelebat di kepala, kendati kursi reyot yang berderit dan putaran baling-baling kipas angin tak mampu mendinginkan hawa panas kedai.

“Murung sekali wajahmu, Nara. Bukankah sudah lega hatimu? Bukanhkah sudah diampuni segala dosamu?” Pertanyaan Arasi mengudara, agak basah dan menderita.

Perempuan itu menyibak rambut panjangnya yangmenyetubuhi keringat di leher. Netra pekatnya mengalun selambat musik lawas dari radio tua di meja kasir. Sementara bibirnya tersendat-sendat kala hendak menuangkan gumpalan pikiran kepada Arasi. Nara ditatap kehampaan pendar lampu kuning, lantas sekonyong-konyong jadi menangis.

“Sungguh diampuni dosaku, Arasi? Sebab telah kujalani hidup yang kusangka baru ini. Tapi terasa begitu sakit. Gunjingan orang-orang masih menyumpahiku setiap hari.”

“Terang saja pengampunan itu sungguhan.” Arasi menerakan, bercak-bercak suaranya merusuh di kabut yang menyelubungi wajah Nara. Tapi Nara diam, makin besar rintihannya.

Sorot cahaya lampu yang kabelnya semerawut, remang-remang melubangi wajah kisruh Arasi. Diusapnya kulit kendur berminyak itu lalu berpaling, melucuti bayang-bayang hitam bangunan Kalijodo yang kini menjadi suci. Bertahun-tahun lalu, seorang kepala kota mengurapi sarang prostitusi tertua itu dan memoles lukanya. Aksi heroik yang disambut pesta kudus itu berakhir dengan pembuangan segala kotoran dan jejak kelam yang telah bermukim sejak Jakarta masih bernama Batavia.

“Kau ingat perjumpaan pertama kita, Nara?” Arasi mengacaukan arah pembicaraan. “Sungai mengalir tenang, bau sampah mencuat, debu jalan merasuki kita, dan kutemukan dirimu bernyanyi di tepiannya. Kupandang pantulan diriku di layar ponsel, terlihat tua dan tak berhasrat. Lalu kau memenuhi semua hasratku di kamar tidur yang terlampau nyaman.”

Simpul di bibir merah merona Nara terjalin sempurna, bagai kue bolu yang mengembang di dalam oven, panas dan bergairah. Tangisnya hanyut dalam kejapan mata. 

“Pertemuan pertama kita sungguh menggambarkan Kalijodo, Arasi.” Suara merdu Nara meletup di kesunyian malam. “Kuingat betul ceritamu dulu sebelum kita melebur bersama. Kau bilang, leluhurmu yang melarikan diri dari perang di Manchuria datang ke bantaran sungai ini untuk mencari istri. Maka direbutlah hati para gundik pribumi untuk dipersunting. Tapi tak kusangka, aku yang akan menjadi gundikmu, Arasi.”

Buncahan tawa Arasi menodai pipi Nara yang bersemu malu. Perempuan jelita bergaun pendek selutut itu memandanginya ragu-ragu.

“Sungai bertemunya jodoh. Itu arti nama Kalijodo? Aku bukan pribumi, tak kutahu semua cerita nenek moyangmu. Yang kutahu, hanya aku sangat mencintaimu.”

Kekehan Arasi membelukar, terbayang olehnya pukulan kecil dari tangan mungil Nara yang tergoda. Tapi malam dan kopi pahit yang larut di antara mereka justru membingkai wajah pilu Nara. Hatinya koyak, dirisak kenyataan.

“Jangan bicara cinta lagi di depanku, Arasi.” Nara menggigil, meremas kuku-kuku kotor Arasi. “Setelah pertemuan ini, aku akan bunuh diri. Jangan lupakan kalau kita buronan polisi. Juga jangan sekali-kali kau lupa kalau kita adalah pasangan pelacur dan mucikari. Orang-orang kudus ingin kita mati. Kita ini hina, hina sekali, Arasi.”

Arasi tergagau, mulutnya terbuka dan menguarkan gemerisik sihir. Kakek pemilik kedai mengganti saluran radio begitu diterkanya dua pasangan menyedihkan itu menangis. Hanya ada mereka berdua di kedai sempit ini, atap-atap seng yang diludahi serbuk hujan meredam pekik nyeri Nara dan Arasi. Kakek itu menyisir rambut ikalnya, helai-helai uban yang renta berjatuhan, terbang bersama percik abu rokok kretek dari hisapan mulutnya.

“Aku juga menderita, Nara.” Arasi menghancurkan wajah rupawannya, ia bersedih dan kesakitan, bak dicambuk rantai. “Anak laki-lakiku ingin membunuhku. Ia mengambil cangkul lalu mengejarku. Layaknya aku ini binatang buruan. Sungguh hina aku baginya.”

“Benar katamu itu? Tak bohong kau, Arasi? Tega sekali hidup padamu. Kebahagiaan tak lagi berpihak pada kita. Kendati sudah mati-matian kita berlutut di kaki Beliau.”

Nara merapatkan kain merah gaun yang membalut dadanya, sesak. Kembali ia teringat kasur-kasur bernoda yang ditidurinya bersama banyak pria. Tak ayal, murka suaminya di malam pengusiran tiba-tiba merebak. Nara tak berkelit saat itu, suaminya pantas mengamuk, sebab ia hanya mengenakan pakaian pelacur saat menyambangi rumah dan mengabarkan kalau tengah mengandung. Bayi itu anak suaminya, tapi laki-laki itu disulap takdir menjadi iblis yang membunuh bayi. Didorongnya Nara sampai menyatu dengan dinding. Nara keguguran, sebelum ia sempat menyerahkan dirinya dikutuk di kamar aborsi. 

Arasi pun dihantui kenangan yang sama, keningnya yang mencumbu kaki anak laki-lakinya hanya membuahkan tendangan marah. Putra satu-satunya itu kemudian berlari mendekap makam ibunya, melepaskan untaian bunga yang dirajut dari derai air matanya. Arasi tergugu, menggigit jari, gila sendiri. Anaknya wajar jadi sinting, sebab telah ia jual banyak perempuan kepada bos-bos berperut buncit. Demi segepok uang untuk meniduri wanita lain. Bahkan tak terbersit kemurahan hati untuk memeluk istrinya yang depresi, sampai perempuan lembut itu mencabut nyawanya dengan tragis. 

“Tragis, tragislah kehidupan anak manusia di bumi.Dibentuk oleh Beliau hati-hati suci, dibisiki oleh Beliau jiwa-jiwa magis, untuk kemudian dikotori. Tragis, tragis, sadis.”

Kakek Tua bersyair, kumandang sajaknya bergelantungan di langit-langit papan kedai. Udara pengap kedai kini berbau amis, Nara mulai dapat mencium aroma kematiannya sendiri. Denting piano dan nyanyian lirih yang disetel Kakek Tua membangkitkan kemarahan Arasi. Ia berdiri, kepalan tangannya memutih, putih dan kejiArasi marah sekali.

“Matikan lagu yang bernyanyi sangat merana itu, Kakek Tua! Semestinya Anda lihat seberapa sakit kami menangis dan menangis hampir tiga jam di kedai sepi ini!

Kakek Tua terpelengak. Kopi tubruk yang baru selesai iseduh menguap, semerbak harumnya lesap. Tawanya muncrat dari bibir yang agak berlendir dan kehitaman. 

“Oh, rupanya dianggap terlalu serius gurauanku tadi. Apa hidup sebagai manusia rasanya sangat sakit? Napas tak berujung yang dialirkan ke hidungmu, di penghujung hari penghakiman akan terdengar seperti deru knalpot busuk. Sesakit itu? Semenderita itu?”

“Kurang ajar! Anda keparat!” Sumpah serapah Arasi melayang. 

Kakek Tua mengubah raut wajahnya, seketika tiupan angin yang bukan berasal dari kipas angin tua merayapi pilar-pilar reyot kedai. Kepala Arasi berdesing, Nara menariknya yang terhuyung-huyung, kembali duduk menghadap meja. Lalu sekejap menjadi tenang. 

Tak usah pedulikan orang aneh itu.” Telunjuk Nara menuding Kakek Tua yang asyik menyesap kopi. “Memangnya kita punya waktu? Kencan terakhir ini bukan untuk marah atau bercinta, Arasi. Kita akan menemui kematian kita masing-masing setelah ini. Semestinya kita habiskan sisa waktu dengan minum kopi dan berbagi isi hati.”

“Jadi, apa yang kamu inginkan? Puisi yang sama manisnya seperti dulu saat kita hendak berciuman?” Dahi Arasi terlipat, ia menggeleng kasar. “Tidak. Tidak, Nara. Harus bagaimana lagi aku menarasikan matamu? Esok akan kuserahkan diriku kepada putraku untuk dibunuh. Aku hampir mati, aku tak bisa bersyair lagi.”

Kalimat memilukan Arasi mengetuk bola mata Nara, menghancurkan kepingan air mata yang sudah mati-matian ia tahan. 

“Mengapa kau menginginkan kematian, Arasi? Ini salahku karena menggodamu dengan bait-bait mesra di tepi sungai kala itu!” Nara berteriak, perih di hatinya memburai.

“Bukan demikian maksudku, Nara.” Arasi membantah. “Selepas bersujud di kaki Beliau, aku bekerja terlalu lelah untuk mencari uang. Kelak akan kubelikan putraku segala yang ia mau di dunia. Tapi kemudian aku tahu, satu-satunya yang ia inginkan dariku hanya kematianku. Aku ingin memberikannya untuk menebus dosaku dan menjadi ayah yang baik.”

Nara lebam, kata-kata itu memukulinya. Benang-benang huruf yang Arasi jahit terlihat bak seonggok bangkai tikus di matanya. Tak ada yang menduga, pria sekuat Arasi yang sudah merasakan kerasnya lembah kotor Jakarta lebih dari empat puluh tahun, kini menyerah akan hidupnya.

“Kalau begitu, aku akan mati dalam keadaan buta.” Nara berucap gamang. “Hukuman pengucilan sudah memenjarakanku. Sejak kecil, rumah dan orang tuaku sudah jadi penjara paling asing. Sekarang orang yang kucintai dan Kalijodo juga menjadi penjara paling asing!”

Kewarasan Nara lebih dulu mati dari raganya. Ia berdiri, menuang air kopi ke petak-petak ubin sembari menari. Kakek Tua yang sedang membaca koran tersinggung. Koran buram itu dihempaskan, Kakek Tua menarik diri dari kursi goyang, menguliti Nara dengan kilatan matanya yang memburu.

Kalau mau mati gila, jangan di kedaiku!” Kakek Tua berkacak pinggang. “Meski sempit dan baunya lebih mirip ikan asin ketimbang kopi, kedai ini sangat berharga buatku!”

Peringatan yang meracau lantang itu tak sampai ke telinga Nara. Ia tuli dan sinting sekaligus. Arasi yang ketar-ketir melihat tarian Nara mendadak ikutan gila. Tak sanggup lagi ia tahan kegilaannya itu meletup. Kakek Tua kelimpungan melihat dua pelanggannya berdansa seperti kesurupan. Cepat-cepat ia ganti melodi sayu dari radio, lantas memutar sebuah iringan dansa yang elegan dan magis. Kakek Tua terbatuk-batuk, heran, seharusnya tempat suram ini kedai kopi yang romantis. Ya, seharusnya kedai dan kopi di sini romantis.

Sia-sia belaka berlutut dan menciumi kaki Beliau, Nara. Kita tetaplah kita. Pasangan hina yang dianggap hina kendati sudah bersih segala hina di jiwa kita.” Arasi menyanyikan gumpalan katanya, mengikuti arus musik yang menyayat telinga.

Betul. Betul katamu, Arasi.” Nara menimpali sembari menjatuhkan dadanya, mendekap hangat pelukan Arasi. “Untuk apa kita risaukan polisi-polisi yang mengejar kita?”

“Benar. Benar ucapanmu, Nara.” Tangan lentur Arasi memutar tubuh Nara. “Lepas dari bercinta yang terkutuk di Kalijodo tak memberi kita sekeping logam untuk mengisi perut. Mau tak mau harus kita rampok orang-orang kaya itu. Jadi, apa dosaku, Nara? Apa?”

Bahu Nara terangkat, mengikuti tamparan musik yang mencak-mendak di atas kepala mereka. Napas kehidupan berjingkat-jingkat, menunggangi udara kedai dan asap lisong Kakek Tua. Aroma tembakau membuai Arasi dan Nara, tak mereka sadari kesintingan itu berjalan pincang dan memanas. Lalu meleleh, sejadi-jadinya, sesakit-sakitnya hati manusia. 

“Sungguh kerdil hati anak-anak manusia.” Kakek Tua geleng-geleng kepala. Ia dekati meja kayu yang Nara dan Arasi tinggalkan. Lalu menaruh dua cangkir kopi baru yang sudah dituangkan gula sepuluh sendok.

Anak-anak, marilah diminum kopi spesial ini. Tak akan kutambahkan ke bon kalian. Cukup bahagia aku jika melihat kalian tersenyum saat meminumnya.”

Kakek Tua mengacungkan dua cangkir bergagang ukiran bunga itu, senyumnya merangkak di wajah yang ditumbuhi janggut.

“Ini kopi manis untuk mereka yang bersedih. Gulanya terlalu banyak dan hanya cocok untuk mereka yang sakit hati.”

Arasi menoleh, menimang-nimang tawaran orang bungkuk yang mencurigakan itu. Lalu disambarnya gagang kopi dari Kakek Tua dan dihabiskannya dalam sekali tenggak. 

“Asin! Asin!” Arasi muntah di depan Kakek Tua yang menerawang sendu. “Seluruh lidah dan tubuhku sudah asin. Aku terlalu banyak menangis sampai dua mataku kering. Aku terlalu lama menangis sampai air garam dari mataku merembes ke lidah dan menjadi asin.”

Kakek Tua menggerutu, direbutnya cangkir paling bagus yang kedai punya dari Arasi. Lentik jemari keriputnya kemudian membanting cangkir, maka runyamlah seluruh kebaikannya pada Nara dan Arasi. Suara radio tiba-tiba bernyanyi hambar, berganti ratapan yang bercakap-cakap. Kakek Tua ingin menangis, ia ingat Beliau selalu mengajarinya cara menangis yang penuh belas kasih. Tapi ia tak bisa menangis di depan Nara dan Arasi, sebab sirine yang meraung-raung telanjur melahirkan pekik. Rasa sedihnya tercabut, yang tersisa hanya keinginan untuk berkabung di pemakaman Nara dan Arasi.

“Malang sekali putraku yang depresi itu, ia tak bisa mencangkul kepalaku sampai mati.” Arasi tertawa. “Dan kita akan tewas ditembak malam ini, Nara. Sayang sekali.”

“Mari kita menyelami Kalijodo, Arasi. Bersama-sama sampai mati.” Nara memohon pada ketangguhan mata Arasi.“Aku sudah tak punya rumah untuk pulang di dunia ini. Suami dan ibu mertuaku sudah mengusirku. Saudara-saudaraku jijik melihat mukaku. Aku hanya punya kamu, Arasi. Mari kita pergi.”

Arasi mengangguk dan mereka berlari semburat keluar dari kedai. Polisi-polisi menodongkan moncong pistol yang mengilap karena tertimpa cahaya bulan. Teriakan dan sorot senter menggerayangi sekujur tubuh mereka. Lalu Nara dan Arasi lompat ke sungai, memeriahkan Kalijodo yang terbungkus pekat wajah malam. Letusan peluru menembus dada Nara dan Arasi, mereka tenggelam, bersimbah darah. Kalijodo memerah, segar, dan pucat.

“Harus bagaimana lagi aku menarasikan matamu? Sudah kubilang tempo hari, puisi-puisi dirundung. Muntahan kata yang terdengar rancu, mati di bibirku. Gagak bertengger di lidah kita yang mengencani hidup. Kita cuma dua mayat kaku yang kebetulan saling mencium. Bahkan tragis kukatakan, kita cuma lelehan daging sajak yang tak jadi dipotong karena bau.” Arasi bersyair untuk Nara, sebagai yang terakhir, di ambang kematian mereka.

“Jadi, harus bagaimana lagi aku menarasikan matamu?”

***

Bengkel Sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar