Cerpen: Beduak Tanah Jakarta

Beduak Tanah Jakarta

Gheani Kirani


Sumber ilustrasi: Pixels

 

Panas, candu, tapi perjalananmu masih jauh. 

Tidak ada yang bisa disalahkan tatkala sepuluh jemari yang terbungkus sepatu bersol tipis itu menyusuri bahu-bahu jalan Batavia. Roda-roda bus kota membuangmu ke pelataran pasar tua, tempat dimana bisa kamu saksikan tulisan legendaris tergantung di langit-langit kotaKamu berdiri di poros muka kota yang bungkuk, dikepung arsitektur Eropa yang terlalu kuno dan sentuhan kuas Tiongkok yangmemekarkan aroma kue bulan.

Pasar Baru terlalu pelik untukmu, hanya puncak-puncak toko yang menjilat udara dan kidung Natal yang dikumandangkan di beberapa sudutSelebihnya hanya tersembul pucuk-pucuk kepala manusia yang saling bertemu, membentuk gelombang paus yang menangis kesepian di belantara laut. Kepalamu sendiri sengaja ditinggalkan di kolong kasur, bersama butiran garam dari air mata yang mengeras ketika tumpah ruah di keramik kamarIsi otak yang dibalut kulit manusia itu terlalu berisik dan penuh kebencian, kamu tak bisa membawanya jika ingin meliput tugas paling penting dalam sejarah kehidupan.

Sorot matamu membingkai Pasar Baru dalam hitungan tak berujung, tapi tetap tak ada yang istimewa, bahkan jika itu adalah semerbak parfum tahun 1820 yang masih menguar dari etalase toko-toko lesu. Tetap tidak ada yang menyenangkan, kecuali dadamu yang membengkak bagai balon dan siap terbang jauh atau meletus dipatuk burung-burung gemuk.

Kamu mengetuk setiap kekacauan di sana, mencoba membangun sarang di kubangan toko-toko antik yang sepi pengunjung. Juntaian benang hitam yang menempel di kepalamu sejak lahir itu sudah lebih buruk dari kata kusut. Lapisan porselen putih yang tertata sempurna di wajahmu sudah kusam, debu dari segala knalpot dan cerobong pabrik baru saja selesai membangun pemukiman di sana. 

Sekarang sudah hampir Natal, seharusnya kamu sedang sibuk menggantungkan pernak-pernik bintang dan kijang di dahan pohon Natal. Atau menarikan tarian santa dalam balutan kostum merah dan janggut putih panjang yang meliuk-liuk jenaka. Mungkin juga menghabiskan persediaan kue bolu di pelosok lemari sembari menonton film membosankan tentang anak yang terkunci sendirian dalam rumah. 

Namun, penghujung Natal tahun ini berbeda. Kamu malah sibuk memotret setiap lekuk memesona Pasar Baru dengan kamera ponsel yang kadang berembun. Berteman kaos putih sederhana, jaket hitam yang menggembung di tubuh, dan celana denim yang terlalu sering dipakai saat ke kampus. Sementara buku catatan kecil yang tenggelam di saku jaketmu masih kosong, tidak ada seberkas bahan liputan yang lahir di sana. Padahal besok kamu harus bertatap muka dengan para kutu buku menjengkelkan, lalu menyerahkan dirimu terjebak dalam suasana sidang yang agak memilukan untuk diingat selamanya.

“Aku rindu Vincent. Seandainya dia ada sini.” Keluhanmu mengepak bersama putaran sayu angin dan daun-daun kering. “Ah, tapi dia kan sudah suka dengan orang lain.”

Kamu berjalan lagi, menyusuri senja yang baru pecah di langit Jakarta dan mengotorinya menjadi semerah bayi telanjang tak bergigi. Kamu menggigil menyaksikan semburat kuas itu menyeka awan-awan lalu mengusungnya pergi. Belum ada pemilik toko yang bersedia menerima gumpalan pertanyaan dari buku catatanmu, mereka bilang akan terlalu membosankan dan rumitKamu hanya bisa meletuskan deru napas yang berat dan beku, sembari melayangkan manik hitammu ke muka antik Pasar Baru yang tak pernah sepi.

Semerbak aroma bumbu pecel, kepulan uap dingin dari gerobak es potong, minuman warna-warni dalam kotak-kotak kaca, dan pedagang kerak telor yang menggosok panci gosong dengan penuh semangat. Hanya pemandangan itu yang dapat menghiburmu. Setidaknya mengurai denyut di kedua kakimu yang mulai muak menjelajahi Pasar Baru. 

“Akan lebih baik jika aku tak memaksakan pergi ke sini.”

Kamu menggerutu, rutukmu menampar semarak lampu toko dan bahu orang-orang yang berjalan berhimpitan. Kamu harus segera menemukan pemilik toko baik hati dan menulis liputan. Kalau tidak, mati saja. Senior penggila buku itu akan berceramah tentang betapa tidak becusnya seorang mahasiswi Sastra Indonesia. Wajahmu memerah serupa bumbu pecel yang dituang ke atas sayuran. Kamu berjalan lagi, tersenyum, bertanya ramah.

Selamat sore, Pak. Saya anggota UKM Jurnalistik yang ingin meliput toko antik ini. Apakah Bapak berkenan?”

Kacamata berbingkai perak itu merosot. Pria beruban itu melipat koran lalu mengusir seorang remaja yang menyeringai lebar di teras toko. “Nggak. Nggak. Saya nggak punya waktu. Toko ini biasa-biasa aja, toh.”

Kamu tidak menyerah, tentu saja. Lanjut bertanya dengan menawarkan senyum paling ramah untuk mendapat jawaban yang terus sama. Tidak. Tidak. Tidak. Huh, sangat sial. Gerutu tak berdaya mengantarkan kakimu melewati puluhan toko, berbelok mencicipi gang sempit, sampai akhirnya telantar di hadapan barisan toko busana. Ponsel berdaya sekarat di sakumu bergetar dan memberi kata-kata ejekan.

“Bagaimana liputannya, Rai? Lancar.” Orang itu tertawa dan kamu ingin sekali tiba-tiba berubah menjadi pahlawan bercelana dalam merah lalu terbang ke rumahnya. 

“Nggak sama sekali. Ini karena kamu tiba-tiba mengambil jatah tema liputanku!”

“Itu karena kamu terlalu lambat.” Teman satu prodimuitu, Rino, mulai berkelakar dengan cara yang tak seru. “Pokoknya semangat! Besok sidang dan peresmian anggota.”

Kalimat terakhir Rino meledak bagai bom di kepalamu. Kamu terpaksa berjalan lagi, kali ini dengan tekad mencari minuman dingin. Deretan gerobak kaki lima yang bertengger di bahu jalan menarik perhatianmu. Untuk sesaat kamu bingung memilih. Sampai netramu tertancap pada barisan botol-botol air serupa susu keruh dan tumpukan buah hitam di atas gerobak. Buah yang mirip kepala itu menghanyutkanmupada kenangan tiga tahun silam. Kala itu kamu berkunjung ke Kota Tuban untuk menyelami tradisi masyarakatnya sekaligus memuaskan hasrat berpetualangmu. Tapi kamu malah dipertemukan takdir dengan laki-laki itu. Orang yang di hadapanmu sekarang sedang memotong daging buah Siwalan dengan pisau sembari tersenyum.

Beduak, sudah lama sekali, ya?” sapamu ramah pada sosok kurus semampai itu. 

Laki-laki yang disapa menoleh, rautnya teduh, masih seperti dulu. Ia tersenyum, menatapmu yang tiba-tiba datang tanpa memasang status pembeli ituKamu jadi kikuk, Beduak rupanya masih mengenali paras manis dan telinga caplangmu.

Masih ingat Tuak Siwalan?” tanya laki-laki itu. “Dan bolo ngombe? Juga paviliun beratap kayu tempat kita minum tuak tiga tahun lalu?”

Kamu mengangguk, ponimu menampar-nampar kening dengan lucu, membuat Beduak tertawa melihatmu.

Iya, dong. Aku ingat para buruh yang menyisihkan uang seribu untuk membeli segelas tuak,” katamu antusias lalu memegang leher. “Juga rasa panasnya di tenggorokan.”

Laki-laki itu tertawa, lalu berkata jahil. “Itu karena kamu meminumnya tanpa cinta.”

“Cinta?” Kamu mengernyitkan alis. “Omong kosong, Beduak. Aku bahkan nggak pernah paham apa sebenarnya jatuh cinta itu.”

“Jatuh cinta itu seperti saat kamu meminum air tuak yang disadap dari getah nira di pohon Siwalan. Pucuk bunga Siwalan akan diiris tipis lalu tetesan yang mengalir ditampung dalam bumbung. Kemudian ditaruh dalam bonjor dan difermentasikan dengan kulit pohon. Lalu air tuak yang masih segar dituang ke dalam centak dan siap diminum.”

Kamu ternganga mendengarkan penjelasan Beduak tentang proses pembuatan tuak. Apa hubungannya dengan cinta? Beduak itu aneh, laki-laki berparas maskulin dengan potongan rambut pendek itu memang aneh.

Jatuh cinta adalah proses panjang, seperti tuak. Prosesnya cukup sulit dan melelahkan. Tapi ketika diminum, kita malah merasakan pahit di lidah dan panas serik di tenggorokan.”

Senyummu keluar malu-malu. Kamu mengerti. “Begitulah cinta. Iya, kan?”

Beduak hanya mengangguk. “Ya. Seperti minuman legen. Sama-sama dari pohon Siwalan dan melalui proses yang hampir sama, tapi legen rasanya manis, asam, dan segar.”

“Sama seperti cinta, kan? Nggak semua cinta berakhir manis di lidah kita.” Laki-laki itu melanjutkan. 

Beduak terkekeh lalu tiba-tiba memperingati dengan alis tertekuk. “Omong-omong, jangan panggil Beduak. Itu cuma sebutan untuk orang yang minum tuak.”

Penikmat tuak di depanmu tertawa lagi. Iringan petikan gitar dari pengamen di gerobak sampingmu menambah riuhnya rindu yang bersemi. Kamu duduk di tepi trotoar yang tak kotor, menonton Beduak menghidangkan potongan daging buah untuk pelanggan yang baru tiba. Selesai melayani, Beduak merebahkan dirinya di sebelahmu sembari menyodorkan sepiring buah Siwalan dan sebotol tuak. Kamu melihat sekilas lalu menolak

“Tidak ada gelas bambu seperti tiga tahun lalu, Beduak?” tanyamu.

Dahi laki-laki itu terlipat. “Ini di Jakarta, bukan di Tuban. Lagi pula jangan panggil aku Beduak. Sekarang aku bukan pemuda kampung lagi, aku sudah jadi buruh kota.”

Kelakar yang menyeruput kecanggungan di antara kamu dan Beduak mendadak larut. Kamu mulai terbiasa menatap dalam-dalam sorot mata Beduak, seperti dulu.

“Habis kamu nggak mau memberitahu namamu.” Kamu protes sembari mencomot daging putih kenyal di piring lalu melahapnya. Cipratan air nira memenuhi mulut, rasa segar itu membawamu kembali pulang ke Tuban.

“Harun.” Laki-laki itu bergumam singkat. “Itu namaku. Jangan tanya nama panjang karena cuma itu namaku.”

Kamu tersedak karena tak kuat menahan tawa. “Namaku juga terlalu singkat. Cuma Narai. Ya, jangan tanya kenapa? Mungkin orang tuaku agak malas waktu itu.”

Beduak itu menyeringai. Ikut-ikutan mencomot daging Siwalan yang nyaris habis.

“Bagaimana kamu bisa terdampar di sini?” tanyamu bingung. “Bukankah kamu ingin jadi petani tuak, menyadap pohon Siwalan, berjualan legen di pinggir jalan?

Kamu melirik laki-laki itu, kamu ingat pertemuan pertama dengannya. Saat itu kamu tersesat di Tuban karena keras kepala ingin menelusuri jejak petani Siwalan. Naasnya kamu malah terpisah dari rombongan ekstrakulikuler pecinta alam dan berakhir berjalan gagu di sepanjang jalan raya. Lalu tiba-tiba seorang pemuda lusuh memanggilmu dan menyuruh menenggak sekantong plastik es legen sambil duduk di teras rumahnya. Mungkin ia iba melihatmu berkeringat, pucat, dan mirip orang gila. 

“Es legen yang kamu berikan di hari itu sangat manis. Rasanya masih kuingat sampai hari ini.”

“Rasa manis yang kemudian membuatmu jatuh cinta pada tuak dan Tuban? Sampai enggan pulang saat rombonganmu menjemput dengan panik?

Kamu terkikik geli. Lalu melirik Beduak dengan seringai kecil. “Mungkin juga rasa manis yang membuatku jatuh cinta padamu.”

Pengakuan terang-terangan itu membuat Beduak kikuk, senyumnya rikuh. Kamu tergagap kemudian, merasa bodoh setelah membocorkan rasa di masa lalu yang masih terpendam. Beduak bernama Harun itu cengar-cengir di sebelahmu. Untungnya nyanyian Pasar Baru yang ramai berhasil menyembunyikan debar jantungmu.

Jatuh cinta itu seperti ngunduh tetese wolo.” Kamu mengalihkan pembicaraan dengan berdiri dan memperagakan orang menyadap getah nira. “Yang artinya memungut tetesan nira dari tangkai tandan bunga Siwalan yang disadap.”

Beduak memangku dagu dengan telapak tangan. Diam-diam tersenyum memperhatikan tingkah anehmu.

“Benar, kan?” Kamu nyengir dan memamerkan gigi. “Sebetulnya aku nggak paham apa itu cinta? Dulu Vincent, laki-laki populer yang aku cintai hanya mengajariku tentang cinta monyet. Sebenarnya nggak adil, sih. Vincent itu sudah ganteng, tajir, ketua OSIS, kapten tim basket pula.”

Kamu berhenti sebentar lalu mencak-mencak. “Nggak adil banget, kan? Vincent itu sempurna, jelas kalau arti cinta yang dia tahu adalah cinta yang sempurna juga. Dia itu bagai tokoh utama novel-novel remaja, jelas kalau arti cinta yang ia tahu adalah halusinasi buat cewek bermuka pas standar dan nggak populer sepertiku.”

Beduak mengangguk, mencoba menghargai keluh kesahmu. “Kurasa kamu nggak benar-benar mencintai Vincent.”

Kamu cuma mabuk. Seperti pasukan Tar-Tar dari Tiongkok yang diajak minum sama prajurit Raden Wijaya dari Majapahit sampai mabuk. Pasukan musuh berhasil dikalahkan karena tuak dan kurasa cinta juga bisa dikalahkan dengan tuak.”

Kamu terpana, menatap laki-laki yang usianya hanya terpaut satu tahun lebih tua darimu. Pelan, kamu merasakan kembali berdiri di Tuban dan menghirup aroma tuak.

“Itu asal mula tradisi minum tuak.” Ia melanjutkan. “Omong-omong, sedang apa kamu di Pasar Baru. Dulu kamu bilang nggak suka berpetualang di Jakarta, kan?”

Kamu merenggangkan tangan lalu kembali duduk. “Memang lebih enak merantau. Tapi aku terdampar di sini gara-gara tugas jurnalistik organisasi kampus. Dan sialnya nggak ada toko yang sudi menerima wawancaraku.”

“Menyedikan sekali.” Beduak menanggapi, lalu tertawa mengelak. “Bercanda.”

Kamu memberangut lalu pelan bergumam. “Aku ingin menulis liputan tentang cinta. Cinta yang menyatu dengan budaya. Apa ada cinta yang seperti itu, Beduak?”

Beduak tak pikir panjang, ia langsung mengangguk. “Tentu saja ada. Pikirmu tuak itu bukan cinta?”

Senyummu merangkak naik sampai menyelimuti wajah. “Mungkin. Sebab untuk pertama kalinya aku merasakan cinta yang berbeda ketika berkenalan denganmu dan tuak.”

“Kalau begitu, tulis saja kisah tentang noto awak, tradisi nitik, dan bolo ngombe.” Beduak mengusulkan dengan bersemangat. “Itu akan jadi liputan yang luar biasa.”

Tepuk tanganmu riuh, berbaur dengan suara klakson dan obrolan pedagang lain di Pasar Baru. Tapi tiba-tibakegelisahan merundungmu. 

“Aku jadi bertanya-tanya. Mengapa buruh-buruh itu masih setia minum tuak. Padahal rasanya pahit dan panas di tenggorokan? Dan mengapa pula mereka nggak memilih minum es legen yang jelas-jelas manis?”

Pertanyaan yang terlontar itu menyulut senyum cerah di garis bibir Beduak.

“Karena bagi mereka tuak adalah cinta yang sesungguhnya. Cinta yang pahit dan membuat tubuh panas. Cinta yang kadang memabukkan saat diminum terlalu banyak.”

Hunusan mata Beduak menerawang awan. Kamu terenyuh, mungkin Beduak teringat akan Tuban. Mungkin pertanyaanmu telah menjadi nostalgia.

Kamu tahu? Para Beduak yang setia meminum tuak adalah pekerja-pekerja kasar. Mereka akan minum tuak sebelum bekerja agar badan bertenaga. Sambil kumpul-kumpul mengeratkan tali persaudaraan antar sesama peminum tuak. Tuak yang mengandung alkohol akan menghangatkan badan dan hati mereka lebih cepat dari bahan lain. Itu yang membuat mereka mengerti tentang cinta sejati.”

Kamu merajut senyum. Tradisi itu bernama bolo ngombe, tradisi yang membuatmu jatuh cinta pada kemurahan dan kesederhaan cinta di setiap centak air tuak. 

“Begitulah cinta,” tutup Beduak sembari menyodorkan sepotong buah Lontar padamu. “Bagaimana pelajaran tentang cinta dari seorang pedagang buah Lontar?”

Kamu tergelak dalam tawa. “Cukup menginspirasi dan agak menggelikan.”

“Bohong banget.” Beduak menyambar dengan seringai lebar yang membuat lekuk matanya terbenam dan tertekuk menyerupai bulan sabit.

Kamu menerima potongan terakhir buah Lontar lalu mencelupkannya ke dalam mulut yang penuh air liur. Perasaan cinta langsung bertebaran bagai kupu-kupu magis di mulutmu. Sementara senja merah sempurna tenggelam di langit Jakarta. Membawamu dan Beduak menyaksikan datangnya pekat malam. Petikan gitar yang berganti genjrengan melumuri kesan dramatis di perjumpaan keduamu dengan Beduak. Kamu dan dia saling menatap, entah dengan maksud apa. Tapi kamu berharap tetesan cinta yang disadap kemegahan Pasar Baru jatuh ke dalam hatimu dan hatinya.

“Ada kotoran di wajahku?” tanya Beduak gugup, mengusap mukanya.

“Nggak.” Kamu menggeleng tak kalah gugu. “Aku hanya berpikir sepertinya kita akan terus bertemu dalam beberapa hari ke depan. Karena aku akan terus meliput bahan feature di Pasar Baru. Asyik sekali kan kalau begitu?”

Beduak termenung. Lalu senyum cerianya menjadi getir. “Sayang sekali. Ini hari terakhirku berjualan di Pasar Baru. Besok aku akan merantau ke Bali karena diterima kuliah jurusan hukum. Beasiswa langka dan kesempatan ini nggak boleh aku sia-siakan. Iya, kan?”

Aliran segar buah Lontar mendadak terasa pahit di lehermu. Kamu hanya bisa tersenyum, kedanti rasa panas mulai menyesakkan dadamu.

“Jujur saja, aku agak takut membayangkan hidupku di sana.” Beduak menyahut kebisuan di antaramu dengannya. “Bali adalah kota asing bagiku. Entah hidupku berakhir manis atau pahit di sana. Aku tak bisa menebak sama sekali.”

“Iya. Memang nggak boleh disia-siakan.” Kamu menanggapi rentetan kalimat pertama Beduak, sambil meringkuk dan memeluk lutut. “Begitu pula dengan cinta. Nggak ada yang tahu bagaimana akhir dari proses panjang itu. Mungkinkah manis? Atau malah pahit? Nggak tertebak sama sekali.”

Beduak mengacaukan gumpalan sedih yang berseru-seru dari bibirmu. Kamu dan dia saling menatap lagi, enggan melepas tautan kendati cinta itu telanjur menetes sempurna.

“Karena nggak semua cinta berakhir manis di lidah kita.” Beduak tersenyum.

Kamu malah tertawa, meluruhkan kesedihan di tengah-tengah dua hati yang kasmaran. “Ya. Karena nggak semua cinta berakhir manis di lidah kita.”

***

Bengkel Sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar