Cerpen: Siapa yang Membunuh Kakak?

Siapa yang Membunuh Kakak?

Gheani Kirani



Sumber ilustrasi: Pixels 

Siapa yang membunuh kakak malam itu? Kamu atau serangan jantung? Kamu tak menjawab karena sudah mati. Kamu mengukir jawaban pada tembok-tembok dingin. Kamu memotong nadi, menggorok kening, memutus kelingking, menghentikan detak jantung yang cepat sekali, lalu mengubah mayat kakak menjadi kuil. Curahan darahmu menyatu dengan darah kakak. Kamu sesungguhnya sudah mati sejak lama.Tapi orang-orang sakit jiwa dan begundal berseragam menyeretmu ke kubus berjeruji dan menjejalkan ke mulutmu sekeji-kejinya kepalsuan. Padahal kamu sudah mati, lebih dulu dari kakak.

“Katakan! Siapa yang membunuh Lara?! Kamu atau serangan jantung?!”

Kamu terjepit di antara besi-besi tak ramah dalam kubus kotor. Matamu terpancang pada wajah merah dengan sepasang bola besar melotot. Bola itu berwarna putih kusam dengan setitik hitam pekat menyedihkan. Kamu tertawa geli, tangan kirimu yang memegang pisau dan tersembunyi di belakang punggung sudah gatal ingin menusuk dua balon putih aneh di sepasang mata begundal gendut itu. Tapi kemudian kamu teringat kakak dan matanya yang mengucurkan serbuk-serbuk merah serupa hujan deras di gunung. Kamu kembali merasakan suhu gagang pisau yang suam-suam kuku malam itu. Kamu tak jadi menghunuskan pisau, kamu takut dituduh membunuh. Kamu takut dipaksa mengunyah nasi basi yang dicampur kuah sayur. Kamu takut terkurung selama-lamanya dan berakhir menjilati gembok kubus setiap hari sampai terputus.

“Luka, nanti ayahmu datang dan menggorok lehermu kalau kau tak mau cerita!”

Begundal itu pasti demam, kamu yakin sekali. Jadi kamu senyum saja sembari menghisap selai berwarna merah dari kelingking yang baru putus tadi pagi. Kini senja sudah nyaris tak berlampu. Lampunya pecah dihajar keributan warga kampung dan desas-desus pembunuhan ketika mayat kakak yang cantik berlumuran selai merah itu ditemukan telanjang tanpa gaun. Gaun putih panjang bak pengantin milik kakak sudah berpindah tangan, kamu melucutinya dari tubuh kakak untuk dikubur. Sebab gaun itu terlalu bersih dan polos, kamu tak suka, kamu ingin gaun itu sedikit dilukis dengan tanah dan cacing-cacing gemuk.

“Ayahmu menagih gaun Lara padaku! Sekarang katakan di mana gaun itu?!”

Amarah begundal berseragam itu terdengar seperti letusan kembang api tahun baru. Meledak dan meletup. Dari lengkingan tak berujung itu kamu bisa mendengar sayup-sayup suara kakak yang menyanyikan sebuah kidung. Kamu kemudian mengingat malam Natal yang membeku saat orang-orang menemukan kakak. Mereka kemudian bahu membahu membingkai pilu di depan raga bisu kakak. Semalam kakak masih duduk di depan piano, menyerahkan sepuluh jarinya pada barisan tuts, meresapi kemegahan pohon cemara bersaljudan salib bermahkota duri yang dipaku di tembok gereja. Lalukidung Natal dinyanyikan kakak, kidung surgawi untuk malam kudus paling agung dan sunyi di dunia.

Tidak ada yang memberitahumu dongeng tentang pembunuh berdarah dingin. Atau balada kesedihan pecundang-pecundang terbaik di negeri ini. Jadi kamu bertanya-tanya ketika pelukmu tak kunjung sampai di tubuh kakak. Jadi, kamu menangis saat kidung “will i dance for You, Jesus?” tak juga dinyanyikan kakak. Siapa yang membunuh kakak malam itu? Ledakan itu atau serangan jantung? Kamu tak menjawab lagi karena sudah mati. Kamu membangun kuil-kuil mayat di perapian hatimu yang kosong dan bermatakan ikan mati.

Curahan darahmu menyatu dengan darah kakak. Kamu sesungguhnya sudah mati sejak lama. Lebih dulu dari kakak.

Kamu meringkuk di sudut gereja, yang hancur dan diperkosa kepulan asap. Kamu menggigil di sebelah pohon Natal, yang kering dan menggugurkan seluruh ranting menyedihkannya. Topi Santa yang membalut kepala sekaligus lukamu sekarang semerah darah. Tapi Santa terlalu lama datang sampai anak-anak kecil pergi diseret dalam genangan darah. Padahal kamu tahu, hadiah belum diberikan, kidung Natal belum dinyanyikan, pendeta belum berkhotbah, kue Natal belum dibagikan, tapi gereja sudah tewas oleh ledakan.

Pukul 07.45. Gereja membisu, merangkak, menjadi kuil-kuil mayat.

Natal sendiri sudah tewas, bahkan sebelum ia sampai pada puncak perayaan. Bahkan sebelum ia tersanjung melihat paduan suara anak-anak memuji syahdu di malam kudus.Bahkan sebelum ia terpesona melihat kakak memainkan piano dengan anggun dan berlutut menyembah. Bahkan sebelum ia terpukau melihat kamu membacakan puisi yang ditulis dengan mengucurkan perasaan cinta pada Yesus.

Tapi, Natal sudah mati. Gereja berkabung, bahu membahu membingkai pilu di depan tumpukan mayat berbau anyir, di depan tubuh beku kakak yang masih terbalut gaun putih.

“Mimpi aneh di tengah kekacauan. Kesepian yang tak berhak atas bahagianya. Kini, di bahu siapa seorang pecundang harus menangisi kepergian Natal?”

Pukul 22.45. Kerumunan orang dewasa yang memikul kamera hitam besar menyetubuhi pelataran gereja. Menyorot pecahan kaca, patahan pintu, salib kayu yang tumbang, bercak darah, organ yang memburai, dan pohon Natal yang terbakar. Beberapa jam yang lalu, sebuah bom meledak, membunuh perayaan Natal, membunuh ratusan jemaat.

Kamu tidak terbunuh. Kamu tahu itu saat pendeta muda yang menggendongmu menuju ambulans menangis tersedu-sedu. Kamu tahu saat orang-orang berpakaian putih memandang nanar kaki kirimu. Kamu tahu saat tergeletak di dalam mobil berbau obat dan merasakan perban melilit sekujur tubuhmu. Kamu tahu, kamu tak akan pernah bisa menari lagi untuk Yesus. Sebab, Ia mengizinkan ledakan itu mencabut kaki kirimu.

“Mengapa Santa tak datang untuk memberitahu bahwa sekarang adalah mimpi dan Natal yang sebenarnya akan diadakan besok?”

Kamu bertanya, pada semua orang di dalam mobil. Tapi pendeta muda yang dahinya bocor hanya tersenyum getir sembari memeluk kitab injil. Tidak ada yang berbicara lagi. 

Sampai akhirnya kamu menyadari, Santa juga ikut tewas malam ini.

“Santa,” katamu pilu. “Santa yang membunuh kakak. Santa yang membawa bom itu. Santa yang bunuh diri malam itu. Kalau tidak, Santa pasti masih hidup dan datang membawa kantong permen. Tapi Santa berdusta dan semua orang menuduhku.”

Begundal itu murka, tapi kamu hanya bisa diam. Lalu begundal lain datang, seragamnya lebih kusut dan menyedihkan. Mungkin berjam-jam lamanya ia telah dilempari pertanyaan dan tomat busuk saat tak mampu menjawab pertanyaan “mengapa kakak tewas?” yang diajukan budak-budak uang. Begundal berkumis aneh itu menyeret banyak sekali kemarahan untukmu. Tapi kamu sudah biasa menghadapi itu. Kamu akhirnya membisu.

“Hasil autopsi Lara sudah keluar. Dokter bilang penyebab kematiannya adalah gagal jantung.” Telunjuk begundal berhidung tomat itu menudingmu. “Kamu, kan?”

Kamu termenung di sudut fana. Memikirkan bukan ledakan yang menewaskan kakak. Tapi kamu, kamu yang membunuhnya. Dia gagal jantung karena kamu. Tapi itu mustahil, hidup ini lelucon basi. Jadi, kamu tertawa, keras sekali. Selama terkikik geli, dua begundal itu menjauhimu seolah-olah mereka sedang melihat iblis. Kamu menoleh pada kaca penuh bercak kotor dan menemukan wajahmu yang buruk rupa. Kamu teringat dongeng itik buruk rupa yang dibacakan teman-temanmu saat Natal tiba. Sakit hati itu merebak bagai semburan darah, tatkala kamu saksikan anak-anak perempuan lain dibacakan dongeng putri-putri cantik dari kerajaan megah yang menikahi pangeran tampan. Sementara kamu mendapat dongeng itik jelek yang katanya cocok denganmu seratus persen. Kamu mengadu pada kakak, katamu hidup ini tidak adil.  Hidup ini terlalu kejam untuk anak perempuan jelek.

Sepekan sebelum Natal lahir ke bumi, anak-anak perempuan dari keluarga kaya akan didandani secantik mungkin. Orang tuamu kaya, tapi gaun seindah apa pun tak akan cukup menutupi luka bakar di wajahmu. Hanya kakak yang selalu dipuji cantik. Bukan kamu. Saat pembacaan liturgi, orang-orang beruban akan memandang iba pada bekas luka di wajahmu yang terlukis karena kecelakaan mobil. Lalu mereka akan bertepuk tangan untuk permainan piano kakak dan senyumnya yang cantik. Begitu Natal tiba, kamu hanya akan dipuji oleh pohon Natal dan toples-toples kue kering karena kamu anak yang baik. Tapi ketika pementasan malam Natal, kamu akan dicaci maki karena tak bisa menyanyi dan menari. 

“Apa arti Natal? Apa hanya berkumpul di gereja untuk menyanyi dan menonton anak-anak menari? Atau hanya pesta meriah dan pohon bersalju yang megah?”

Tidak ada yang sanggup menjawab pertanyaan itu. Terlebih orang dewasa. Mereka hanya tahu Natal adalah momen yang tepat untuk pergi ke alun-alun kota dan melepaskan diri sejenak dari beban hidup. Tapi kamu menanyakannya seolah itu pertanyaan yang sangat penting untuk dijawab. Kamu tak bisa menari, suaramu sumbang sekali, dan wajahmu sangat tidak manis. Bagaimana orang-orang dewasa akan terhibur menonton penampilan anak sepertimu saat Natal? Mereka pasti akan kecewa. Seperti kakak, kecewa.

“Luka, cobalah untuk menari dengan serius dan berlatih menyanyi setiap hari.”

Kakak menusukkan luka yang sesungguhnya di hatimu. Kini kamu tahu mengapa kamu dinamai Luka. Mungkin karena kehadiranmu di dunia hanya membawa luka bagi orang-orang. Tapi orang-orang selalu tak mengerti sesakit apa luka sebelum sakit itu tertanam di tubuh mereka. Sembilu yang bernanah dan kekecewaan. Seperti itulah kamu, sekarang dan selamanya. Lantas malam itu kamu menangis di ruang ganti gereja. Kamu berlari mengambil pil obat jantung kakak dan menyembunyikannya. Kamu tahu kakak sering digendong ke dalam mobil saat tengah malam karena jantungnya nyeri. Jadi, kalau kamu sembunyikan obat ini, mungkin kakak akhirnya akan mengerti bagaimana rasa sakit.

“Sungguh. Lara tewas karena gagal jantung. Teman-temannya sempat panik karena obatnya hilang.”

“Ada yang menyembunyikan obatnya! Pasti kamu, Luka!”

“Tapi semestinya Lara tidak tewas karena obatnya hilang. Ini penyesalan terdalam untuk semua orang.”

“Apa? Ada apa memangnya? Sudah pasti Luka yang menyembunyikannya.”

“Bukan. Bukan. Maksudku dokter forensik menemukan beberapa  pil obat di saku gaun Lara. Ternyata dia membawanya sebelum hilang!”

“Apa? Jadi, ledakan itu penyebabnya? Ledakan itu?”

“Ya, ledakan itu. Ia baru ingin minum obat tapi didahului ledakan.”

Kamu tertawa sembari menangis. Sebetulnya sangat bodoh untuk menangis di depan dua begundal bengis nan licik. Tapi kamu tak bisa menahan tangis. Mata dua begundal yang semula melotot itu kini menancapimu dengan rasa bersalah yang berbau anyir. Padahal tadi kamu pikir akan segera mati dalam kurungan jeruji ini. Sebab orang-orang mengataimu pembunuh dan orang tuamu pingsan karena menangis. Elegi yang menyanyikan rintihan kidung tak diizinkan masuk ke jiwamu yang mati. Kamu terlalu hina untuk sekadar melihat kakak tersenyum di dalam peti. Kamu telah menjadi adik kesayangannya selama belasan tahun tapi orang-orang merasa kamu tak layak menangis bersama mereka yang bersedih.

Kamu malah diantar ke psikiater dan mendapat diagnosis otak psikopat. Kamu ditanya letak gaun kakak yang terkubur dengan nada lembut tapi memuakkan. Tentu kamu bungkam dan sengaja menjulurkan lidah. Enak saja, pikirmu. Kamu dilarang menangis dan dikutuki seperti pembunuh. Lalu orang-orang itu sesukanya meminta gaun. Kamu suka gaun kakak, kamu ingin mengabadikannya di halaman belakang rumah, tempat bermainmu dan kakak. Kamu hanya ingin membuat kakak abadi di rumah. Membuatnya seolah tetap “ada”.

“Baik, anak nakal. Kamu bukan pembunuh.” Begundal itu menyeka kening yang berkeringat karena rasa bersalah. “Tapi di mana gaun Lara?”

“Jangan tanya aku. Tanya saja Natal. Karena Natal yang membunuh kakak.”

Begundal itu mengerang. “Kamu akan dibebaskan setelah ini dan direhabilitasi.”

“Aku tidak gila. Ledakan itu yang gila.” Kamu menyahut dingin.

Kepalan tangan begundal berkumis meninju jeruji, membuatnya bergetar hingga menguncang perutmu yang belum terisi roti Natal. Sekarang masih 29 Desember, masih ada sisa waktu untuk menikmati Natal. Kendati Natal tak pernah lebih berarti di mata orang-orang. Kamu mengingat kembali perayaan Natal tahun lalu yang dirancang megah. Terlalu megah sampai-sampai orang-orang tega meninggalkan Tuhan di loteng untuk menjaga hadiah anak-anak. Sementara Santa menjadi bintang utama yang dielu-elukan.

Kamu juga masih ingat kisruhnya wajah pendeta muda berdahi bocor itu selepas Natal usai. Ia meratapi bungkus kue dan ceceran hiasan yang berjatuhan di lantai. Kamu ditinggal sendiri di gereja karena jantung kakak tiba-tiba kambuh. Orang tua itu menitipkanmu pada pendeta muda dan petugas kebersihan yang gemar menyapu. Tapi tiba-tiba pendeta muda itu menangis di sebelahmu.

“Tidak ada yang berdoa malam ini. Tapi kami masih sangat dicintai.”

Sejak rintihan itu mengalun merdu, kamu akhirnya tahu apa arti Natal. Orang-orang telah kehilangan cinta. Tapi kendati Natal selalu meriah, Santa selalu istimewa, dan pohon natal selalu megah. Hadiah yang terbaik hanya doamu malam itu. Doa yang begitu tulus dan rapuh. Sampai kidung “will i dance for You, Jesus?” kembali dinyanyikan malaikat, di tengah puing-puing kemegahan Natal yang terkubur.

“Surrounded by your Glory. What will my heart feel? Will I dance for You, Jesus?”

***

 

 

 

 

Bengkel Sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar