Cerpen: Dipinjam Pertemuan


Dipinjam Pertemuan

Gheani Kirani


Sumber ilustrasi: Pixels

 

Cawang membeku di kematian senja. Malam menyetubuhinya dengan semena-mena, anak-anak manusia sibuk membebat tubuh dengan baju lusuh yang mereka punya. Bau keringat dan serpihan bedak luntur dari wajah-wajah lelah. Roda-roda bus kota masih terus berputar, merangkak dan menggerus kerikil tajam. Berteman peliknya jalanan Kota Jakarta, jemuas dan badut pelacurnya menari perut menyongsong malam yang rindu terlelap. Halte-halte dingin, berbaris mengelilingi kota, meminjamkan harapannya untuk jutaan manusia yang haus dan kelaparan. Lantai-lantai besi, menguliti daging-daging kaki yang kebas menapaki hari penuh siksaan. Muka-muka sabak, mata-mata rebas, mulut-mulut sumpah serapah, kepala-kepala rengat, membusuk bersama Cawang dan roda bus kotanya.

Malam itu, aku jatuh cinta pada Cawang. 

Aku berdiri gontai, remah harapanku mengambang, nyawaku nyaris sedikit lagi direnggut malaikat. Mataku mengerjap, serbuk-serbuk halus turun serupa hujan, memandikan wajah kotor seorang pecundang, turun dari sudut mata sampai merembes ke dagu. Nada-nada sendu berlarian dalam telinga, menikam kepingan kenangan yang menerobos masuk, merajam sosok yang hancur dirudapaksa kepahitan hidup.

Namun malam itu, kutemukan sepasang mata jenaka yang menyapa dari sela-sela kerumunan orang di halte bus.Aku terpegun, menatapmu yang tak kunjung menoleh kendati dihujani tatapan liarku. Kamu hanyalah sosok laki-laki sederhana, dengan balutan kemeja putih dan celanan bahan hitam, hampir sama sepertiku. Mataku menyelidik rok hitam yang kukenakan, permukaannya lusuh seperti wajahku. Kamu juga menutup kedua telingamu dari bisingnya halte bus. Tak bisa kutahu lagu apa yang kamu putar hingga kepala mungilmu mengangguk-angguk. Aku hanya menerka, melalui jaket almamater hijamu dan sinar layar ponselmu. Jaket itu sama denganku, kupikir kita satu kampus. Sampai kuingat kembali, aku tak mengenalmu.

“Bus jurusan Cawang-Taman Mini. Cawang-Taman Mini.” 

Seorang pegawai halte berseru, mengagetkanku yang bodohnya masih terpaku menyelami parasmu. Malam sudah larut, tapi Cawang semakin ramai tak tersentuh. Kamu termenung memandangi antrian para buruh kota yang mencoba mencari satu pijakan kecil untuk berdiri di dalam bus. Kulihat kamu menelan ludah, jakunmu bergerak naik turun. Lalu kamu menyingkir dari muka pintu bus yang terlalu penuh. Aku tanpa sadar mengekorimu, ikut menyerah menghadapi sesaknya bus itu. 

Kita duduk berdua, berdampingan dengan jarak satu langkah di kursi besi yang berderit setiap kali kumainkan kaki. Atensimu masih terhisap oleh layar ponsel yang menerangi redupnya langit halte, menyembulkan sedikit kerlip senyum di wajah pasi. Aku senang untuk itu, sebagai orang bodoh yang bahkan tak mengetahui tentangmu sama sekali.

Perlahan sebagian hatiku yang rapuh setelah sepanjang hari terbentur kegiatan OSPEK mulai menginginkanmu. Sampai kesempatan itu datang, ketika seorang kakek tuamenggeser dudukku. Aku tergusur ke dekatmu, menyorot bingkai matamu yang tercenung melihatku. Tak kusadari tahu-tahu pundakku sudah menyentuh lenganmu. Keterkejutan kita memunculkan rona jenaka di bola matamu. Garis bibirku merekah, sepasang mata jenakamu meletuskan tawa paling gugupku. 

Kegugupan itu berubah menjadi kikuk tak tersembunyi saat kita saling menatap lagi ketika bus kedua datang. Kita berdiri canggung di muka pintu, bersama melangkah masuk dan tersenyum lega saat melihat kursi-kursi kosong. Kamu mengambil kursi tengah dan penumpang yang menjejali bus membuatku terpaksa duduk terpaut satu kursi darimu. Kamu melirikku lagi, alis tebalmu menukik jenaka, mungkin bertanya-tanya mengapa aku betah sekali mengikutimu. Aku membuang muka, malu tentunya. Lalu seorang pria tua berjaket kulit hitam terkekeh melihatku, mungkin ia menyadari pipiku yang bersemu merah.

Kalian satu kampus? Teman, ya? Kok nggak ngobrol?”tanyanya bertubi-tubi sambil menudingku dan kamu.

Kamu tergagap, masih dengan wajah yang berseri-seri jenaka. Sesekali melempar tatapan tak terbaca. Aku menirukan kekehan paling parau lantas terbatuk dengan cara yang jauh dari kata jenaka. Kemudian kamu mengangguk, mendadak dan agak menyebalkan karena pria tua itu jadi menertawai kita.

“Kalau begitu ngobrol, dong. Kenalan kalau belum kenal,” katanya lagi sembari memamerkan deretan gigi kuning langsat.

Tanganmu yang terbungkus kulit gelap terang terulur ke arahku. Aku menelurkan umpatan, kamu pasti penyihir yang terdampar di bumi. Maksudku bagaimana mungkin jabat tangan kita yang sederhana ini membuatku diam tak berkutik? Buru-buru kuselipkan jemariku di tanganmu dan sihir itu masih belum tercabut. Kamu licik ternyata. Tega sekali tak mengucapkan nama saat menyihirku tadi. Bodohnya namaku juga tak tersebut lewat mulut yang terbuka lebar bagai ikan mati ini.

Sepanjang perjalanan yang diselimuti kabut malam dari Cawang ke Taman Mini, pria tua itu sibuk mengejek kegugupan kita. Percakapan malu-malu yang kulantunkan padanya memudar saat kerlip lampu halte tujuan bersinar di balik kaca. Kita turun dalam langkah yang seirama, disambut padatnya jalan raya dan barisan angkot yang menanti penumpang.

Kesibukan Kota yang semerawut itu membuatku kehilanganmu. Sampai aku terhenyak di sudut angkot yang busa kursinya sudah sobek dan hilang sebagian. Masih kurekam semua tentangmu; hidung mancung, garis bibir tipis, wajah mungil, juntaian poni hitam yang menutupi keningkaki jenjang dan tubuh ramping, serta tak lupa sepasang mata jenaka itu.

“Ketemu lagi.” Kamu tiba-tiba memecahkan kantukku saat menyusupkan suaramu yang teduh itu.

Bunyi hatiku bersahut-sahutan ketika kamu duduk di sebelahku, menaruh kepala di kaca angkot yang sulit dibuka, menikmati sepoi-sepoi angin malam yang merangsek memenuhi tubuh lelah kita. Insting liarku menyuruh membuang muka, langsung kulakukan karena ogah bila kamu mendengar konser yang bernyanyi dari jantungku.

Tapi kamu malah melesatkan kata-kata lucu saat angkot yang dikemudikan begundal itu membelah jalan raya. “Kenapa selalu melihat mataku?”

Bodoh. Itu pertanyaan. Pertanyaan yang memutar otakku tanpa diminta. Spontan aku memikirkan alasan dari jenakanya matamu. Ada sesuatu yang menari-nari di permukaan licin itu. Ada setangkup keheningan dan keramahan yang menyatu seakan ingin menyapaku.

“Karena lucu,” jawabku datar. Kamu tertawa dan aku baru menyadari kalau ini jawaban tersinting yang pernah otak dangkalku pikirkan.

Tawa rendah yang disaksikan seluruh penumpang angkot itu membuatmu dengan semburat mengunci mulut. Aku memasang senyum dan itu mengambang di air mukaku yang merah. Kamu mengetukkan kaki di lantai besi yang kotor dan sekejap hening, lalu kudengar nyanyian merdu, mengalun dari earphone yang kini menyumbat kedua telingamu.

It’s just another night. And i’m staring at the moon.”

Kidung yang merekah dari telingamu itu menyihirku lagi. Garis bibirku menyulam senyum tanpa kutahu. Kamu sendiri terlelap dalam pose bersedekap. Lalu kulihat cahaya bintang dari balik kaca angkot yang tak tertutup tubuh penumpang. Mereka berkilauan di kanvas hitam yang menaungi kita. Bibirku berontak  ingin menyanyikan bait selanjutnya.

“I saw a shooting star and thought of you.”

Untung aku teringat betapa sumbangnya suaraku, jadi bait itu kunyanyikan dalam kehampaan yang terbentuk di gumamku. Aku enggan membangunkanmu. Bagiku menikmati sayup-sayup lagu yang diputar olehmu berteman guncangan angkot dan rentetan klakson kendaraan adalah hal terbaik yang bisa kumiliki di sisa hari ini. Meski mimpi indah ini berakhir saat aku terpaksa memberhentikan angkot, ketika kita telah sampai di tujuan yang sebenarnya, sebuah perpisahan.

Kamu terbangun dan menyipitkan mata melihatku turun. Kemudian tanpa kusangka sepasang mata jenakamu memberi salam perpisahan, sesaat sebelum angkot merah itu melesat dan terenggut kesunyian malam.

“Sampai bertemu lagi, Laki-laki Cawang.”

Dan mungkin esok akan kusapa lagi sepasang matamu yang jenaka. 

Kendati mata malam ini begitu asing, roh kita tak pernah bisu tuli. Tak seperti matamu, kau serumit lelucon badut dan takzim sepasang mata jenaka. Tidak juga seperti sukmaku, niskala yang abstrak di genangan bola mata. Malam ini telah kusyukuri banyak hal. Terutama karena kita bertemu di malam yang tepat.

Waktu itu, malam di Cawang yang sibuk, riuh rendah dalam dekapmu. Roda-roda bus kota bisa melihat sunyinya sapaan kita yang berpendar mengarungi kelam. Mesra, tak sampai hati waktu memisahkan kita. Sudah cukup pikir orang-orang, kita babak belur dipinjam pertemuan. Parak diam-diam membaca buncahan aneh yang meletup-letup dalam dua langkah tubuh kita yang berjarak. 

Lalu, malam itu, dengan sekejam-kejamnya takdir manusia, memisahkan.

“Ketemu lagi.” Kamu menegur di pagi buta, berdiri dekat tiang bus saat aku masuk.

Aku tersenyum kikuk, bisa-bisanya kita kembali bertemu. Tapi sialnya bus terlalu penuh untuk kita berbagi sapaan pagi. Aku terdorong ke dekatmu, kita hampir bersentuhan, dalam satu jejak kaki yang memisahkan. Dan kudengar kamu memutar lagu semalam.

“Suka sekali mendengar lagu itu.”

Kamu memalingkan wajah, terpaku padaku yang tak bisa bergerak juga membuang muka untuk beralibi. Pemberhentian kedua menjejalkan lebih banyak penumpang, menghimpitku, menempelkanku padamu, membuat kita tak bisa berpaling satu sama lalin. 

“Karena lucu.”

Itu jawaban yang tak pernah kuinginkan terucap kembali. Tapi kamu baru saja mengatakannya, dengan mata jenaka yang mengerling. Lalu ponsel di rengkuhan tanganmu berdering, aku mengeluhkan rasa senang karena kamu berpaling. Tak jadi membuatku dikuliti malu seorang diri.

Oh ya? Wah selamat, dia menerima, ya. Akhirnya jadian juga. Oh aku? Ah, belum ada. Tapi ... ” Kamu melirikku. “Ada cewek yang bilang aku lucu.”

Aku tergagap. Sial sekali rasanya ketika pemberhentian ketiga malah semakin banyak memasukkan penumpang. Aku tak bisa menjauh darimu, bahkan jika itu hanya demi mengusir rasa malu. Penelepon bersuara berat seperti laki-laki itu menyahut, menanyakan siapa cewek yang menyebutmu lucu. Aku meringis, menolak pikiran buruk kamu akan bilang “dia ada di sampingku”. Tapi sepasang matamu hanya tertawa dan membuatku lega karena kamu menjawab tak tahu. Untungnya setelah percakapan mendebarkan itu berakhir kamu tak menanyakan namaku. Aku meleleh, berharap kamu hanya bergurau.

“Jangan bilang siapa-siapa,” kataku pendek dan lemah.

Jangan bilang siapa-siapa, nanti aku tak tahu harus menaruh muka di mana. Sebab aku semakin serupa dengan orang-orang, gemar menginap di markas rasa manusia lainnya. Lalu, esok, mati karena kehilangan muka. Sejak kemarin aku membenci parak. Juga sepasang matamu yang jenaka. Tak terkecuali Cawang yang meminjamkan kita pada pertemuan. Sehingga bus kota sampai hati memainkan roda-rodanya, mengajak kita menyelami mesranya dua sapaan singkat di malam hari yang melelahkan.

“Oke. Kalau kita tidak bertemu lagi,” janjimu.

Tapi besoknya kita bertemu lagiKamu terbungkus warna oranye senja yang jatuh ke bumi. Dan aku bertanya-tanya bagaimana bisa kilau cahayanya tak memudarkan parasmu sama sekali. Kamu masih sama, berkulit gelap terang dan menyapa hilir-mudik orang di depanmu dengan sepasang mata jenaka. Aku menemukanmu duduk di bangku panjang, di tepi trotoar yang sesak dengan gerobak pedagang, di depan kampus kita.

“Ketemu lagi,” sapamu.

“Menunggu bus?” tanyaku dengan pandangan yang terarah ke halte. Terlalu penuh dan tidak menyakinkan untuk kita yang selalu ingin menikmati perjalanan pulang.

“Iya,” jawabmu lalu menunjuk sapuan kuas oranye yang menyelubungi halte. “Mau lihat matahari terbenam? Warna oranyenya cantik. Daripada di sini menghirup debu.”

Aku mengangguk, lantas berjalan di sampingmu, membicarakan mata kuliah yang seperti merundung kita. Membicarakan jejak-jejak lelah di wajah kita. Membicarakan kesibukan anak manusia yang berjuang hidup di kota. Dan sore itu, senja menjadi saksi bisu perbincangan kita. Kendati oranye yang kita saksikan perlahan penyap, termakan gugusan kota yang bermegah di ujung langit. Kendati pucuk-pucuk gedung memakan oranye itu hingga tak tersisa lagi. Tetap bisa kudekap parasmu yang teduhnya mengalahkan oranye hari ini. Kita berdiri di tengah jembatan penyeberangan, saling melihat gumpalan oranye yang mencuat dari mata kita. Dapat kutebak, kamu dan aku berharap perasaan ini bukan apa-apa.

“Aku harus pulang.” Kamu tercekat saat menyadari putaran jarum di arlojimu.

Aku tidak ingin mengirimmu pulang sekarang. Tapi aku tak bisa. Bahkan matahari telah terbenam di depan mata kita. Oranye hilang dan kini menjelma cat air yang mewarnai kita. Saat kita berjalan menuju halte yang tak lagi ramai, kita telah berubah menjadi oranye paling mekar di dunia. Tapi aku selalu terkubur dalam penyesalan saat menyadari kita akan pulang. Aku ingin menahanmu lebih lama. Tapi aku tak bisa. 

“Busnya sebentar lagi datang.” Kamu memberitahuku yang termenung menyesal.

Tak masalah jika kamu membocorkan ke orang-orang kalau aku yang menyebutmu lucu, karena aku hanya inginbertemu denganmu lagi. Namun, sepertinya hanya aku yang berubah menjadi oranye sore ini. Kamu tidak. Atau kamu memang tak mencintainya. Dan merasa pulang adalah jalan terbaik ketika gelap mulai terlihat. Aku juga suka ketika kesempatan pulang tiba. Tapi hari ini berbeda. Pulang menjadi sangat menyedihkan. 

“Namamu,” kataku gugup. “Namamu siapa?”

Kamu tercenung lalu menjawab pelan. “Luthfi. Oh betul juga, kita sudah tahu jurusan dan kegiatan masing-masing di hari ini. Tapi tidak untuk nama. Lucu, ya.”

“A-aku Lara.” Menjadi gagap di depanmu adalah kebiasaan baruku, harap maklum.

Kamu mengangguk dan aku mulai menimbang-nimbang untuk mengajakmu pergi besok. Tekadku mulai meragu dan meledak lagi saat bus kita mulai terlihat memasuki halte.

Ah, besok aku mau pergi ke Pasar Baru buat liputan feature. Itu tugas penentu supaya aku diterima di UKM Jurnalistik.” Aku berkata kikuk dan kamu menyimak dengan sangat baik, membuatku malu. “Ma-mau ikut? Sekalian jalan-jalan.”

Kamu tampak berpikir lalu senyum jenakamu merekah. “Sepertinya seru.”

“Ya, aku mau meliput gereja tua di sana.” Aku membalas antusias.

Tapi kamu tiba-tiba terdiam, rautmu menyesal. “Maaf. Baru ingat. Besok aku ada kegiatan di pesantren.”

“Pe-pesantren?” Aku terbata, mencoba menepis pikiran buruk.

“Iya.” Kamu mengangguk kencang sampai ponimu menampar-nampar kening. “Omong-omong, kenapa kamu tertarik meliput gereja?

Aku menelan ludah, memaksakan senyum. “Karena aku jemaat di sana.”

Kita saling membisu, keasingan menyelimuti kita. Keasingan yang begitu berbeda dari sebelumnya. Dan malam itu, seharusnya semua orang jatuh tertidur, terpekur, kepala terantuk-antuk lantas terbentur pintu yang terus membuka dan menutup. Tapi kamu, dengan seringai nakalmu, mencoba melatunkan tutur kata yang memantul dari dinding ke jendela bus. Panas di jemari yang kalap memegang erat besi mengalir turun dan mendidih dalam dadaku. Kemudian aku tak ingat apa-apa lagi, hanya ringannya tawa yang menyergap udara di sebelahmu. Panas, candu, tapi perjalanan kita masih jauh.

Perjalanan masih jauh tapi bus kota rupanya tak suka dengan elok parasmu, ia menyulapmu diam-diam, kamu dibuat menjelma serupa pujangga. Bersenandung, riuh merebak dalam gendang telinga. Anehnya dari sekian puluh manusia-manusia lelah di dalam bus, tak ada satu pun yang bangun terkaget-kaget mendengar nyanyianmu. Mereka tak terusik, tak keberatan, seakan-akan kamu memang hebat dalam mencuri hati perempuan yang sedang kasmaran. Jadi aku tertawa, sengaja terbahak-bahak sampai sakit perut biar kamu tahu rasa. Bagaimana rasanya ditelanjangi cinta sekaligus ditampar kenyataan bahwa ada parak yang menanti kita di waktu pulang.

Kamu tahu, setelahnya aku merasa tak ingin sampai di waktu pulang. Berhenti, membawa kaki dan seluruh lukanya turun dari bus kota yang terkekeh kecil. Malam itu membuatku ingin mengutuk langit agar berubah menjadi pagi lagi. Sehingga kita bisa sekali lagi mendongeng tentang betapa serunya dipinjamkan dari pertemuan ke pertemuan dan saling mencuri rasa yang kita punya.

Sungguh, dipinjam pertemuan telah menjadi kutuk, bukan lagi rahasia yang setiap menit berkabung. Aku yakin, kamu juga begitu. Orang-orang tak tahu betapa keteguhan hati memaksa kita bertahan dilucuti gelombang rasa. Cawang membisu beribu-ribu bahasa, menyaksikan kita dirudapaksa rindu yang semena-mena. Dan roda-roda bus kota yang membekas, menghitam, larut sehebat-hebatnya dalam ruang senyap, telah menuduh kita melawan perpisahan.

Padahal kita pantas memberontak, setelah kita mengerti bahwa sujudmu dan lipat tanganku adalah satu-satunya perbedaan yang tak bisa kita bunuh.

Sekeji-kejinya takdir manusia, kita adalah dua orang paling naif yang percaya bahwa takdir kita adalah yang terbejat. Sekarang kita dapat seenak jidat menghakimi bahwa dipinjam pertemuan adalah kesalahan paling salah. Tapi aku sekali-kali tak berhak menghakimi sepasang matamu, takut nanti tatapan jenakamu memudar pilu, lenyap terhapus nada-nada tangis kita yang menggema di penghujung tahun.

Biarlah kita tulis kisah tentang Cawang dan dengarkan lagu yang bermain di dalam bus kotanya. Biarlah hiruk-pikuk keramaian menulikan seutuhnya remah hati yang tersisa, dan senantiasa kunantikan ilalang yang bersajak di ributnya detak jantung kita. Biarlah remuknya bibir yang mengucap kata, bisu abadi kala separuh rusakmu mendamba pulang.

Lalu, esok, kusapa lagi sepasang matamu yang jenaka.

***

 

Bengkel Sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar