Apa yang akan Anda bayangkan jika Anda dihadapkan pada premis cerita
seperti ini: seorang bayi jatuh dari langit melalui sebuah pesawat luar angkasa
misterius dan ditemukan oleh sepasang suami-istri petani, kemudian dirawat
seperti anaknya sendiri hingga pada suatu hari anak tersebut menunjukkan bahwa
dia memiliki kekuatan super di dalam dirinya. Superman. Betul.
Kal El, nama sebenarnya dari Superman, kemudian dirawat oleh keluarga Kent
hingga dewasa dengan nama Clark Kent. Lingkungan penuh kasih sayang dan
perhatian yang diberikan oleh keluarga Kent membuat Clark tumbuh menjadi
seorang superhero yang baik hati.
Mari kita berandai-andai, seandainya Kal El pada akhirnya menjalani garis
hidup yang berbeda. Alih-alih menjadi superhero yang baik hati dan senang
menolong, dia justru menggunakan kekuatannya untuk berbuat jahat dan meneror seluruh
kota tempat dia dibesarkan.
Tahun 2019, film Brightburn garapan sutradara David Yarovesky telah mewujudkan
imajinasi liar itu. Meski berangkat dari premis dan latar belakang tokoh yang
sama, Brightburn justru menciptakan seorang monster dengan kemampuan dan
kekuatan yang mirip dengan Superman. Brandon Breyer (tokoh utama dalam film
Brightburn) adalah sebuah manifestasi dari kekuatan dan mimpi buruk.
Mari kita telisik beberapa kesamaan premisnya dengan Superman. Brandon bayi,
sama seperti Kal El, juga ditemukan oleh keluarga Breyer di dalam sebuah kapsul
luar angkasa misterius yang jatuh dari langit pada suatu malam. Keluarga Breyer
adalah keluarga petani, sama seperti keluarga Kent yang merawat Kal El.
Keluarga Breyer mengasuh dan membesarkan Brandon seperti anak kandung mereka
sendiri dengan penuh kasih sayang. Sayangnya, setelah menyadari potensi
kekuatan super yang ada di dalam dirinya, serta didorong oleh bisikan-bisikan
aneh dari kapsul luar angkasanya, Brandon justru menggunakan kekuatannya untuk
melakukan hal-hal jahat.
Pada tulisan ini saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai karakter,
mungkin akan saya tulis di lain kesempatan.
Hal pertama yang langsung saya lakukan setelah menonton film ini adalah
membandingkannya dengan film atau cerita Superman. Saya rasa ini juga yang akan
dilakukan oleh sebagian besar penonton Brightburn. Persamaan antara kedua film
itu sangat terasa, sehingga agak mustahil bagi penonton untuk tidak
menyinggungkannya.
Kesaling-singgungan antara dua film ini, oleh Julia Kristeva disebut dengan
intertekstualitas. Kristeva menjelaskan bahwa sebuah teks (dalam artian umum)
atau karya seni tidak lain hanyalah sebuah permainan dan mosaik kutipan-kutipan
dari berbagai teks yang sudah ada sebelumnya. Semacam ruang pascasejarah di
mana kutipan-kutipan atau premis-premis dari berbagai ruang, waktu, dan
kebudayaan yang berbeda dapat saling bertemu dan berdialog.
Michael Riffaterre mengemukakan istilah “hipogram”, yang kemudian menjadi
sangat penting bagi pengembangan teori intertekstualitas Kristeva. Hipogram
adalah sebuah unsur prateks (sebelum teks) yang dianggap sebagai energi puitika
teks. Oleh sebabnya, hipogram kemudian menjadi landasan untuk menciptakan
karya-karya baru, baik dengan cara menerimanya atau menolaknya. Dalam kasus
ini, film Superman dianggap sebagai
hipogram bagi film Brightburn.
Setiap karya seni dapat dipastikan memiliki hipogramnya. Baik itu merupakan
sebuah inovasi, improvisasi, adaptasi, dekonstruksi, dan sebagainya. Meski
begitu, tidak semua hipogram dari suatu teks atau karya seni dapat langsung
diidentifikasi. Perlu penelaahan lebih lanjut, atau kajian lebih jauh, untuk
dapat mengetahui hipogram dari karya seni itu.
Berbeda dengan hal tersebut, pada film Brightburn
dapat dipastikan bahwa kita dapat langsung menyimpulkan hipogramnya dalam
sekali terka. Kesamaan premisnya dengan Superman membuat film ini seolah-olah
memang sengaja menirunya.
Di era pemikiran posmodern ini, “kesengajaan peniruan” seperti itu telah
menjadi sesuatu yang wajar. Dibanding terus menerus berusaha mencari sesuatu
yang “baru”, posmodernisme cenderung lebih senang mengusik kemapanan teks-teks
atau wacana-wacana lama yang sudah ada.
Bambang Sugiharto, dalam bukunya Posmodernisme:
Tantangan bagi Dunia Filsafat, mengatakan bahwa setidaknya ada tiga kategori
sifat posmodernisme. Kategori pertama,
adalah pemikiran-pemikiran yang merevisi kemodernan dan cenderung kembali ke
pemikiran pramodern. Kategori kedua adalah
pemikiran-pemikiran yang terkait erat dengan dunia sastra dan persoalan
linguistik. Kata kunci yang populer untuk kelompok ini ialah dekonstruksi. Mereka cenderung untuk
mengatasi pemikiran modern yang bersifat totalitarian dan berkebenaran tunggal,
namun akhirnya cenderung jatuh ke dalam relativisme dan nihilisme. Mereka
menarik segala premis modern dan membenturkannya pada konsekuensi logis paling
ekstremnya. Kategori ketiga adalah
segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme,dengan tidak menolak
modernisme itu secara total, melainkan dengan memperbaharui premis-premis
modern di sana-sini saja. Semacam sebuah kritik imanen terhadap modernisme
dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi negatifnya
.
Dari ketiga kategori tersebut, wacana yang ditawarkan oleh film Brightburn lebih dekat pada kategori
yang kedua, yakni mengatasi kebenaran tunggal dari sebuah teks dengan cara
menarik segala kemungkinan-kemungkinan logisnya sampai yang paling ekstrem.
Dengan kata lain, film Brightburn
mencoba untuk mendekonstruksi struktur primer dari premis yang ditawarkan oleh
hipogramnya, film Superman. Dengan
berangkat dari premis-premis awal yang sama dengan Superman, film Brightburn
justru menyisihkan wacana tentang superhero pada umumnya, dan berusaha untuk
membuka jalan bagi kemungkinan lain, bahkan sampai pada titik yang paling jauh.
Anda tidak akan menemukan sosok superhero yang baik hati, suka menolong dan
menghajar penjahat. Anda justru akan disuguhi seorang anak nakal yang senang
merusak dan berbuat jahat, bahkan tidak ragu untuk membunuh, dengan berbekal
kekuatan yang sama hebatnya.
Penikmat seni saat ini (baik itu film, sastra, atau karya seni lainnya)
sudah tidak hanya menunggu-nunggu apa yang baru yang akan hadir, atau sejauh
mana batas-batas kreatifitas dapat ditembus, melainkan juga menunggu bagaimana
teks-teks atau karya seni yang sudah pernah ada dapat muncul kembali dengan
berbagai macam kemungkinan-kemungkinannya.
Mussab
Askarulloh
Juni, 2019
Juni, 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar